Wujud rancangan omnibus law (undang-undang sapu jagat) terkait lapangan kerja yang disusun oleh pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mulai terlihat. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sempat menjelaskan isi UU yang kemudian disebut RUU Cipta Lapangan Kerja dalam rilis di laman website mereka.
Dalam penjelasan yang sudah dihapus tersebut, aturan baru yang merupakan ambisi besar Jokowi untuk menarik investasi ke dalam negeri akan berdampak pada revisi atas 79 UU dan 1.244 pasal yang dianggap menghambat investasi.
Serikat pekerja dan [organisasi masyarakat sipil] menyatakan menolak keras RUU ini karena aturan baru dianggap merugikan buruh dan berpotensi melanggar hak asasi manusia dan berdampak buruk pada lingkungan hidup.
Beberapa draf aturan baru yang mendapat kecaman adalah misalnya pemberlakuan upah kerja per jam, tidak diakuinya hak perempuan, dan penghapusan izin masalah lingkungan.
Tapi Jokowi tampaknya tidak peduli dengan sikap keberatan masyarakat. Jokowi malah menginstruksikan Kepala Kepolisian RI dan Kepala Badan Intelijen Negara untuk melakukan pendekatan kepada organisasi yang menolak UU Cipta Lapangan Kerja ini. Penolakan yang seharusnya disikapi dengan dialog malah dihadapi oleh aparat penegak hukum dan intelijen. Hal ini mungkin karena Jokowi sudah memang memasang target 100 hari pembahasan UU selesai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Terlepas dari kontroversi yang ada, dari perspektif hukum, penyusunan UU ini menyimpan setidaknya dua masalah:
Hanya libatkan elit
Teknik penyusunan UU melalui pendekatan UU sapu jagat ini baru diterapkan dalam sistem perundang-undangan Indonesia.
Seharusnya penerapan teknik baru tersebut dan ruang lingkup pengaturan yang luas dibarengi dengan proses penyusunan yang partisipatif dan transparan.
Namun, sejauh ini proses penyusunannya berjarak dengan publik. Hal ini bisa dilihat dari komposisi satuan tugas UU Sapu Jagat Cipta Lapangan Kerja yang didominasi oleh pengusaha baik dari Kamar Dagang dan Industri maupun asosiasi pengusaha. Buruh merasa tidak dilibatkan dalam penyiapan UU ini.
Memang proses legislasi yang ditempuh oleh UU sapu jagat ini masih harus melalui beberapa tahapan. Proses saat ini masih di wilayah eksekutif.
Akan tetapi partisipasi masyarakat dalam proses legislasi, termasuk proses di wilayah eksekutif dijamin oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahkan dalam Pasal 96 UU tersebut menegaskan agar rancangan peraturan perundang-undangan harus mudah diakses oleh masyarakat. Inti dari pelibatan masyarakat tersebut adalah adanya ruang dialog yang terbuka luas antara pembentuk kebijakan/peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
Dalam proses penyiapan UU Sapu Jagat Cipta Lapangan Kerja saat ini, ruang dialog tersebut tampak ditutup.
Tidak ada dialog
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sempat menjelaskan dalam siaran persnya bahwa pemerintah baru menyelesaikan “substansi Rancangan UU (RUU) Cipta Lapangan Kerja”. Siaran pers, yang kemudian juga dihapus tersebut, tersebut dikeluarkan untuk mengklarifikasi bahwa RUU yang sudah beredar di masyarakat dan mendapat kecaman itu bukan versi pemerintah.
Apabila memang substansi RUU telah selesai disusun maka seharusnya naskah akademiknya pun sudah selesai terlebih dahulu. Naskah akademik merupakan dokumen riset yang menjelaskan latar belakang, urgensi dan bagaimana RUU bisa menyelesaikan masalah dan harus dapat diakses publik agar publik bisa memahami arah pengaturan UU baru tersebut.
Tapi sampai saat ini publik belum dapat membacanya.
Proses legislasi yang mengambil jarak dengan publik ini mengingatkan pada pembahasan sejumlah RUU di akhir periode pemerintahan September tahun lalu.
Ketiadaan partisipasi dan transparansi harus dibayar mahal dengan banyaknya aksi penolakan RUU yang berlangsung masif dan merenggut korban jiwa.
Rekomendasi untuk DPR
Status RUU Sapu Jagat Cipta Lapangan Kerja di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah RUU super prioritas. Artinya pembahasannya didahulukan dibandingkan RUU lain.
Kemungkinan besar UU ini akan disahkan tanpa ada penolakan apalagi melihat konstelasi politik parlemen saat ini hanya menyisakan sedikit kursi yang berseberangan dengan pemerintah.
Proses pembahasan yang bersifat elitis di level eksekutif bisa jadi berulang di parlemen.
Meskipun demikian, pembahasan di parlemen merupakan ruang baru dalam proses penyusunan UU. Akses partisipasi publik akan lebih terbuka baik formal maupun non-formal seperti melalui dengar pendapat, diskusi intensif dengan anggota atau fraksi termasuk aksi demonstrasi.
RUU Sapu Jagat Cipta Lapangan Kerja ini akan menjadi pembuktian kapasitas politik dan legislasi DPR yang baru.
Sebagai representasi rakyat, DPR wajib mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat terkait substansi UU yang mengundang banyak kontroversi ini.
Ruang dialog yang terbuka saat pembahasan di DPR nanti, juga harus diikuti dengan keterbukaan informasi dari DPR. Dokumen pembahasan baik itu naskah akademik, RUU, daftar inventarisasi masalah, laporan singkat rapat, ringkasan rapat harus selalu tersedia dan mudah diakses oleh publik.
Dalam membahas UU sapu jagat, DPR juga harus membuktikan bahwa fungsi legislasi ada di bawah kendalinya dan tidak harus menuruti kehendak presiden.
Praktik politik Orde Baru yang lekat dengan anggapan DPR merupakan lembaga “stempel” setiap RUU yang diusulkan eksekutif seharusnya tidak berlaku lagi setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Pembahasan setiap RUU menuntut peran kritis setiap anggota DPR dengan dukungan para ahli. Hal tersebut juga berlaku pada UU Sapu Jagat Cipta Lapangan Kerja ini.
Artikel ini telah tayang di theconversation.com dengan judul “Dua masalah hukum dalam penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja”, https://theconversation.com/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-129979
Penulis : M Nur Sholikin
Photo : www.shutterstock.com