Belum optimalnya kinerja penyelesaian rancangan undang-undang (RUU) terus menjadi sorotan publik. Tentu ini menjadi perhatian lembaga pembentuk undang-undang (UU) baik DPR maupun pemerintah. Karena itu, di internal DPR sendiri, peran peneliti amat vital dalam upaya optimalisasi proses pembentukan sebuah RUU agar lebih efektif.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Nur Sholikin mengatakan pembahasan RUU atau proses legislasi di DPR dan pemerintah (BPHN/Ditjen Perundang-undangan Kemenkumham), penelitian yang dilakukan telah cukup. Demikian pula, jumlah peneliti yang dilibatkan dalam proses penyusunan atau perumusan sebuah RUU.
Misalnya, sama halnya dengan pemerintah, DPR pun telah memiliki berbagai alat kelengkapan dewan. Seperti komisi-komisi, Badan Legislasi (Baleg), hingga Badan Keahlian Dewan (BKD). Khusus di BKD sebuah unit yang melakukan berbagai penelitian dalam upaya menyusun naskah akademik hingga draf RUU usulan DPR. Kata lain, DPR telah memiliki struktur pendukung yang memadai. Mulai peneliti, tenaga ahli di alat kelengkapan ataupun di masing-masing fraksi partai dan anggota dewan.
“Semestinya DPR mengoptimalkan ketersediaan sistem pendukung itu guna mengoptimalkan kinerja legislasi dalam pembahasan RUU,” kata Sholikin kepada Hukumonline di Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Menurutnya, para tenaga ahli, peneliti, dan perancang peraturan perundang-undangan harus dioptimalkan terutama di BKD DPR. Misalnya, memberi kepercayaan penuh dalam melakukan berbagai kajian kebijakan. Termasuk melakukan pemanfaatan data dan analisa berbagai kebijakan atau objek penelitian.
“Pembentuk atau pembuat kebijakan termasuk DPR perlu menciptakan iklim yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan melalui berbagai penelitian. Libatkan dan optimalkan para peneliti di masing-masing institusi yang ada di Indonesia,” sarannya.
Dia mengakui lembaga negara seperti DPR melalui BKD telah banyak menjalin kerja sama dengan berbagai universitas dalam upaya membangun jaringan. “Tapi, (BKD) DPR harus lebih serius membangun sistem pendukung termasuk meluaskan jaringan dengan berbagai pemangku kepentingan,” katanya.
Sudah kerja sama
Terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengakui BKD DPR telah banyak melakukan kerja sama dengan peneliti dari berbagai universitas dan lembaga lain, khususnya dalam membantu perumusan RUU. Seperti, Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU), Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (PPPUU), Pusat Kajian Anggaran (PKA), Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara (PKAKN), dan Pusat Penelitian (PP).
Kemudian, Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Sumatera Utara USU), Universitas Andalas, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Universitas Parahiyangan Bandung, UPI Bandung. Kemudian Asosiasi Keilmuan Administrasi Negara (AKAN), Universita Katolik Widya Mandiri Nusa Tenggara Timur, Universitas Terbuka (UT) Jakarta, dan Universitas Tadakulo.
“BKD menjadi think thank DPR dalam menyusun RUU ini. Kerja sama tersebut diprioritaskan dalam rangka mendukung kerja-kerja legislasi,” lanjutnya.
Bambang mengakui persoalan belum efektifnya fungsi legislasi DPR. Namun, fungsi legislasi inipun menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab, penyusunan dan pembahasan sebuah RUU, tidak hanya DPR, tetapi juga tangggung jawab pemerintah. Namun, pria yang akrab disapa Bamsoet itu menilai semestinya masyarakat un dapat meneliti sebab-sebab tertundanya pembahasan RUU. Misalnya, disebabkan keterlambatan DPR atau pemerintah yang sering tidak hadir dalam rapat kerja dengan komisi terkait.
“Misalnya, pembahasan RUU ASN, pemerintah pun belum juga mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Alhasil, DPR pun belum dapat memulai pembahasan,” ujarnya memberi contoh.
Atau ada kendala lain, seperti yang terjadi pada pembahasan RUU Karantina Kesehatan. Karena adanya pergantian Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan yang mewakili pemerintah, sehingga Dirjen yang baru butuh waktu mempelajari substansi RUU tersebut.
“Setelah terus menerus diberikan warning oleh DPR, bahkan saya sampai menelepon Ibu Menteri Kesehatan, akhirnya rapat pembahasan bisa kembali dilanjutkan dan RUU tersebut bisa disahkan pada Juli 2018 kemarin.”
Dia menambahkan selama ini BKD secara berkala menerbitkan jurnal dan buku yang sebagai sarana publikasi riset bagi para peneliti di Indonesia. Dia melansir data Kementerian Riset dalam satu satu tahun, Indonesia mampu menghasilkan 6.260 riset meskipun masih di bawah negara-negara kawasan Asia yang lain. “Sementara Malaysia mampu membuat 250.000 riset, Singapura 18.000 riset, dan Thailand 12.000-13.000 riset,” ujarnya.
Saat ini, Indonesia telah memiliki UU No.18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Teknologi. Menurutnya, adanya UU 18/2002 bukti dari aspek regulasi Indonesia telah mapan. “Kalaupun ada kebutuhan merevisi UU tersebut agar hasil penelitian dijadikan bahan proses penyusunan peraturan perundang-undangan, DPR sangat terbuka.”
Sumber:
Media : hukumonline.com
Tanggal : 22 Maret 2019