Setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo menolak keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harapan terakhir menyelamatkan KPK dari pelemahan akibat revisi UU itu kini berada di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review yang dimilikinya.
Dua belas orang yang terdiri dari lima mantan pimpinan KPK dan sejumlah tokoh anti-korupsi telah melayangkan uji formil ke MK.
Permohonan uji formil ini tercatat dengan Nomor Perkara 79/PUU-XVII/2019 – salah satu dari beberapa permohonan yang diajukan ke MK terkait revisi UU ini.
Saya termasuk salah satu kuasa hukum yang mendampingi para pemohon dalam judicial review ini. Mereka menuntut MK untuk membatalkan revisi UU KPK secara keseluruhan.
Pemohon mengganggap revisi UU KPK cacat formil atau bermasalah dalam proses pembentukan. Merujuk pada UU tentang MK, jika suatu undang-undang bermasalah dalam formalitas pembentukannya, maka MK bisa membatalkan undang-undang tersebut secara keseluruhan.
Terkait itu, ada lima temuan kami yang memperlihatkan bahwa revisi UU KPK bermasalah dalam konteks formil pembentukan dan menjadi pokok permohonan yang disampaikan.
Pertama, revisi UU KPK tidak melalui proses perencanaan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2019. UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) mewajibkan bahwa setiap pembentukan undang-undang harus melalui proses perencanaan dalam Prolegnas.
Prolegnas sendiri dibagi dua, yang diatur untuk jangka waktu lima tahun dan Prolegnas prioritas tahunan. Singkatnya, semua rancangan UU (RUU) yang hendak dibahas ataupun disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden harus terlebih dahulu masuk dalam Prolegnas jangka lima tahun dan apabila hendak disahkan pada tahun itu, misalnya 2019, RUU dimaksud harus masuk dalam Prolegnas prioritas 2019.
Faktanya, revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019. Hal ini terlihat dalam keputusan DPR tentang Prolegnas Prioritas 2019 yang ditetapkan pada 31 Oktober 2018.
Bahkan, dalam empat kali evaluasi terhadap Prolegnas Prioritas 2019 tersebut pada tanggal 28 Mei 2019, 4 Juli 2019, 25 Juli 2019, dan 1 Agustus 2019, revisi UU KPK tetap tidak masuk.
Akan tetapi pada 5 September 2019, DPR menggelar rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR, yang hanya dihadiri oleh sekitar 70 orang anggota.
Kemudian revisi UU KPK dimasukkan oleh DPR ke dalam Prolegnas Prioritas 2019 secara tiba-tiba dan tanpa sepengetahuan publik pada tanggal 9 September 2019 dan disahkan menjadi undang-undang pada 17 September 2019 dengan status usulan DPR.
Kedua, revisi UU KPK menggunakan Naskah Akademik yang diragukan kebaruannya serta tidak lengkap membahas poin-poin yang memperlemah KPK.
UU PPP telah mensyaratkan bahwa setiap undang-undang wajib disertai naskah akademik; kajian akademis dalam naskah ini harus memadai dan sesuai zaman.
Akan tetapi kajian akademik yang digunakan untuk revisi UU KPK sekarang adalah naskah akademik yang telah digunakan DPR untuk tahun 2011.
Begitu juga poin-poin penting yang memperlemah KPK seperti dibentuknya Dewan Pengawas, KPK bagian dari rumpun eksekutif, penghapusan aturan membentuk KPK perwakilan, pegawai KPK berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), dan sebagainya juga tidak ada kajian akademiknya dalam naskah akademik yang digunakan.
Terkait itu, dalam putusan MK pada 2014, Maria Farida Indrati – yang saat itu hakim MK – pernah berpendapat bahwa dengan tidak dibahasnya suatu materi perubahan UU dalam naskah akademik, maka pembentukan undang-undang yang demikian bernilai cacat hukum dalam proses pembentukannya.
Ketiga, revisi UU KPK melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satu kewajiban dalam membentuk undang-undang adalah taat asas pembentukan.
Pasal 5 UU PPP menyebut bahwa undang-undang harus memiliki tujuan yang jelas dan dibentuk oleh lembaga atau pejabat pembentuk yang tepat. Undang-undang juga harus sesuai dalam jenis, hierarki, dan materi muatannya, serta dapat dilaksanakan, memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan jelas rumusannya. Undang-undang juga perlu dibuat dengan prinsip keterbukaan.
Karena sifatnya kumulatif, satu saja dari asas ini dilanggar, maka suatu undang-undang sudah bisa disebut cacat formil.
Fakatanya, ada enam asas yang dilanggar, salah satunya revisi UU KPK menghasilkan kontradiksi pada pasal-pasalnya sehingga tidak dapat dilaksanakan.
Contohnya antara pasal 69D dan 70C. Pasal 69D menyebutkan:
“sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah”.
Namun Pasal 70C justru menyebut:
“pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.
Artinya, ada dua ketentuan yang saling bertabrakan dan membuat revisi UU KPK tidak bisa dilaksanakan karena ada kekosongan hukum yang terjadi pasca revisi UU KPK disahkan.
Keempat, pembahasan revisi UU KPK tidak partisipatif dan tertutup. Proses pengerjaan dan pembahasan yang sangat kilat (14 hari) dan KPK secara kelembagaan tidak pernah diajak bicara bahkan pemimpin KPK tidak pernah mendapat draf revisi UU KPK secara resmi dari DPR.
Padahal sebagai objek pengaturan, KPK seharusnya mendapatkan hak untuk ikut dalam pembahasan dan memperoleh segala informasi terkait pembentukan undang-undang. Faktanya, KPK secara kelembagaan dan pemimpin KPK tidak pernah mendapatkan hak tersebut.
Ini melanggar Pasal 68 dan Pasal 88 UU PPP. Selain KPK tidak dilibatkan, revisi UU KPK juga tidak mendengar aspirasi publik. Bahkan ketika pembahasan, anggota DPR menyebut tidak perlu mendengar masukan publik dan merasa cukup dengan logika yang mereka miliki dalam mengatur KPK.
Padahal selama proses berjalan, telah terjadi demonstrasi besar yang menolak revisi UU KPK.
Kelima, sidang paripurna DPR tidak kuorum dalam pengambilan keputusan. UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebut bahwa sidang parpurna DPR hanya dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum. Kuorum terpenuhi apabila rapat dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari setengah jumlah fraksi.
Berdasarkan catatan Kesekretariatan Jenderal DPR, rapat paripurna persetujuan Perubahan UU KPK pada 17 September 2019 dihadiri oleh 289 dari 560 anggota DPR. Namun berdasarkan penghitungan manual hingga pukul 12.18 hari itu, hanya terdapat 102 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna.
Ada anggota DPR secara fisik tidak hadir dalam ruangan sidang namun mengisi absensi kehadiran saja, sehingga tidak mengikuti jalannya persidangan hingga pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan. Dengan hanya dihadiri oleh 102 anggota saja, maka sidang tersebut tidak kuorum dan tidak sah untuk mengesahkan revisi UU KPK.
Lima temuan ini menunjukkan bahwa revisi UU KPK cacat formil dalam pembentukan.
MK melalui kewenangan yang dimiliki bisa membatalkan revisi UU KPK secara keseluruhan. Bila UU KPK yang baru dibatalkan, maka untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, MK bisa memerintahkan agar UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK digunakan kembali sebagai dasar hukum KPK memberantas korupsi.
Bagaimanapun, UU KPK yang lama itu tidak mengandung unsur pelemahan dan dirasa lebih layak digunakan untuk memberantas korupsi yang semakin menggurita di negeri ini.
Artikel ini telah tayang di theconversation.com/ dengan judul “Lima argumen revisi UU KPK cacat hukum dan harus dibatalkan”,https://theconversation.com/lima-argumen-revisi-uu-kpk-cacat-hukum-dan-harus-dibatalkan-130219.
Penulis : Agil Oktaryal
Photo : theconversation.com