Tiga masalah besar menjadi beban legislasi. Perlu mengefektfikan pelaksanaan fungsi legislasi ke depannya dengan beberapa upaya, seperti menyaring RUU priotas tahunan dengan mengesampingkan materi yang tidak seharusnya diatur dalam undang-undang.
DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2019-2024 sebanyak 248 Rancangan Undang-Undang (RUU). Begitu pula penyusunan daftar Prolegnas Prioritas 2020 sebanyak 50 RUU, kendati belum disahkan dalam paripurna. Namun dari sekian banyak RUU, setidaknya menjadi tantangan dan beban besar bagi DPR selama lima tahun ke depan dalam merampungkan capaian target penyelesaian RUU.
Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Muhammad Nur Solikhin, menakar sejumlah persoalan yang menjadi tantangan bagi DPR lima tahun ke depan. Setidaknya terdapat tiga hal pokok yang menjadi masalah dalam Prolegnas 2019-2024 yang disahkan DPR bersama dengan Pemerintah. Pertama, jumlah yang tidak realistis. Kedua, muatan materi yang tidak semestinya diatur dalam undang-undang. Ketiga, banyaknya judul atau ruang lingkup pengaturan RUU yang sama.
“Tiga hal ini menjadi masalah besar yang akan menjadi beban legislasi sepanjang periode,” ujarnya kepada hukumonline, Sabtu (10/1).
Baginya, jumlah RUU yang sedemikian besar dalam perencanaan lima tahunan seolah DPR dan pemerintah tidak berkaca dari kegagalan periode-periode sebelumnya. Pasalnya, capaian jumlah penyelesaiaan RUU tak pernah mendekati target seperti dalam penyusunan. Di sisi lain besarnya jumlah RUU Prolegnas bakal berdampak besar terhadap inefisiensi anggaran legislasi selama lima tahun.
Terutama dalam penyiapan naskah akademik, naskah RUU hingga dengan biasa pembahasan setiap RUU. Itu pun bila sampai dengan tahap pembahasan RUU. Nah, pemborosan anggaran tentu terjadi apabila sejumlah RUU yang sudah disiapkpan, tidak dilanjutkan pada pembahasan hingga tingkat pengesahan di paripurna.
“Pemborosan anggaran akan terjadi apabila dari sejumlah RUU yang sudah disiapkan, tidak dilanjutkan pada pembahasan sampai dengan pengesahan,” katanya.
Solikhin yang juga mantan Direktur PSHK berpadangan, dalam rangka mengefektfikan pelaksanaan fungsi legislasi ke depannya perlu melakukan beberapa upaya. Pertama, DPR harus menyaring RUU priotas tahunan dengan mengesampingkan materi yang tidak seharusnya diatur dalam undang-undang. Kemudian menggabungkan beberapa RUU yang memiliki ruang lingkup pengaturan yang sama.
Kedua, Bamus DPR perlu menyusun strategi dan komitmen bersama antar pimpinan alat kelengkapan dan fraksi dalam membahas dan menyelesaikan RUU. Ketiga, perlunya DPR merancang kembali sistem informasi dalam menjamin transparansi dan akuntabilitas setiap pembahasan RUU. Tak saja melalui website milik DPR, namun pula sistem informasi lainnya.
Keempat, masing-masing fraksi partai di parlemen harus mendisiplinkan serta mengevaluasi kinerja anggotanya secara berkala dalam melaksanakan fungsi legislasi. Seperti tingkat kehadiran anggotanya dalam mengikuti pembahasan RUU. Kelima, memperbaiki sistem pendukung fungsi legislasi seperti tenaga pendukung, sistem komunikasi dan dokumentasi proses legislasi dan undang-undang baik internal maupun eksternal.
Baginya, 2020 menjadi tahun tantangan bagi DPR dalam mengembalikan kepercayaan publik khususnya kinerja di bidang legislasi. Pasalnya diakhir periode sebelumnya, memunculkan kontroversi dan polemik di masyarakat. Oleh karena itu, DPR 2019-2024 harus bekerja keras untuk menjalankan fungsi legislasinya.
Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menambahkan, banyaknya jumlah RUU yang dimasukan dalam daftar Prolegnas lima tahunan menunjukan watak DPR yang cenderung terpesona pada kuantintas ketimbang kualitas. Padahal evaluasi kinerja legislasi DPR 2014-2019 yang dilakukan Baleg pada 6 November 2019, salah satu poin rekomendasinya adalah DPR harus menyusun prolegnas yang sederhana tetapi mementingkan kualitas.
Menurutnya, dengan jumlah prolegnas yang masih cukup banyak, DPR periode ini masih mengulangi model perencanaan legislasi yang buruk dari periode sebelumnya. Dia menilai, jumlah prolegnas yang banyak ini nampak tidak sejalan dengan semangat omnibus law. Yaitu menyederhanakan perundang-undangan dengan menggabungkan atau menghapus peraturan perundang-undangan menjadi satu undang-undang. Sebaliknya dalam merencanakan prolegnas DPR lebih mengutamakan jumlah daripada mempertimbangkan konsep omnibus law.
“Prolegnas 2020-2024 hanya menunjukan ‘tancap gas’ dari segi jumlah tanpa memperhatikan rambu-rambu dan kinerja buruk legislasi periode sebelumnya,” ujarnya
Penyeimbang pemerintah
Lebih lanjut Solikhin berpandangan, DPR memiliki tantangan dalam menyusun undang-undang di tahun ini terutama terkait dengan penyusunan UU ‘omnibus law’. Omnibus law disepakati DPR dan pemerintah menjadi super prioritas. Karenanya, DPR harus mampu menjalankan fungsi penyeimbang bagi pemerintah.
“Dalam menyelesaikan RUU dengan pendekatan omnibus law tersebut dan membuka relasi yang baik dengan masyarakat melalui pelibatan atau partisipasi dalam membahas undang-undang tersebut,” katanya.
Selain itu, DPR juga harus mempunyai sistem database perundang-undangan yang komprehensif. Setidaknya sistem yang mampu mendukung harmonisasi UU dengan pendekatan omibus law tersebut. “Meningat pendekatan ini ditempuh untuk menyelesaikan tumang tindih undang-undang yang sudah ada,” pungkasnya.