Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan menangani pandemi coronavirus disease (Covid-19). Salah satunya di sektor ketenagakerjaan, Menteri Ketenagakerjaan telah menerbitkan Surat Edaran No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Pedoman Perlindungan Buruh dan Keberlangsungan Usaha Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Namun, surat tertanggal 17 Maret 2020 itu dinilai belum cukup memadai untuk bisa menyelesaikan berbagai persoalan ketenagakerjaan di masa pandemi Covid-19.
Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) M. Nur Sholikin menilai tidak tepat jika pemerintah mengatur sektor ketenagakerjaan dalam menghadapi Covid-19 hanya melalui SE Menaker. Surat Edaran tidak termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan dan daya ikatnya terbatas. Pemerintah seharusnya menerbitkan kebijakan yang lebih baik seperti Peraturan Menteri atau lebih tinggi sehingga punya kewenangan dan daya ikat memaksa.
“Harus ada kebijakan yang lebih kuat, rinci, dan jelas untuk mengatur sektor ketenagakerjaan dalam rangka menghadapi pandemi Covid-19,” ujar M. Nur Sholikin dalam diskusi secara daring bertajuk “Pemenuhan dan Perlindungan Hak-hak Buruh Terdampak Covid-19” di Jakarta, Rabu (23/4/2020).
“Banyak pihak menunggu kejelasan dan ketegasan sikap pemerintah di sektor ketenagakerjaan. Sebab, ada peluang penyimpangan (penyelundupan hukum, red) yang besar di tengah situasi Covid-19,” paparnya.
Tiga hal perlu diatur
Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang menilai sedikitnya ada 3 hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam membuat kebijakan sektor ketenagakerjaan dalam rangka menghadapi penyebaran Covid-19. Pertama, keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Andriko menghitung lebih dari 2 juta pekerja terkena dampak Covid-19. Bahkan ada pekerja yang tertular Covid-19 di tempat kerja.
Hal itu antara lain disebabkan jumlah alat pelindung diri (APD) bagi pekerja tidak memadai dan jumlahnya kurang. Sebab, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan sejumlah daerah masih membuka ruang sektor industri tertentu untuk menjalankan kegiatan operasionalnya. Sayangnya, tidak ada jaminan yang diberikan terhadap buruh yang masih bekerja agar terlindungi dari potensi terpapar Covid-19.
Begitu pula ketika buruh dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya menggunakan transportasi umum, menurut Andriko hal ini membuat buruh semakin rentan terpapar Covid-19. Selain itu, kendati sebagian besar perusahaan yang masih beroperasi sudah melakukan upaya seperti mengukur suhu tubuh, dan menyiapkan disinfektan, tapi masih ada perusahaan yang tidak menerapkan imbauan physical distancing secara baik. Misalnya di perusahaan pabrik garmen, buruh yang melakukan pekerjaan menjahit jaraknya sangat berdekatan.
“Ini harus menjadi perhatian karena jika ada satu orang buruh yang terkena Covid-19 saja, dengan cepat akan menyebar di lokasi kerja. Jumlah pekerja di pabrik itu kan banyak, mencapai ribuan orang,” kata Andriko.
Kedua, kepastian kerja. Andriko menyoroti pandemi Covid-19 menambah kerentanan posisi buruh untuk mendapat kepastian kerja. Dalam situasi normal, banyak buruh diputus hubungan kerja (PHK) menjelang lebaran karena pengusaha menghindari pembayaran tunjangan hari raya (THR). Biasanya ini dialami buruh yang statusnya pekerja kontrak. “Hampir 64 persen pekerja di sektor garmen itu statusnya kontrak,” kata dia.
Andriko melihat organisasi pengusaha berupaya untuk melobi pemerintah agar mereka dapat menunda pembayaran THR dan membayar upah di bawah ketentuan upah minimum. Alasan yang kerap digunakan yakni keadaan memaksa (force majeure). Andriko mengakui Pasal 164 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur PHK karena alasan force majeure. Tapi, syarat utama yang harus dipenuhi perusahaan sebelum melakukan PHK membuktikan laporan keuangan selama 2 tahun bahwa mereka mengalami kerugian.
“Saat ini terhitung baru 2 bulan pandemi Covid-19, jadi belum memenuhi unsur untuk dapat dijadikan alasan PHK atau pemotongan upah,” kata dia.
Ketiga, kepesertaan jaminan sosial. Menurut andriko program jaminan sosial sangat penting bagi buruh dan keluarganya. Skema jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS yakni kepesertaan menjadi tidak aktif jika peserta tidak membayar iuran.
Hal ini akan menimbulkan persoalan bagi pekerja yang dirumahkan dan perusahaan tidak membayar iuran jaminan sosial. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah dapat menerbitkan kebijakan, misalnya mengatur agar hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan dapat digunakan untuk membayar premi peserta.
Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam mengingatkan politik hukum kebijakan ketenagakerjaan yang ada sejak Indonesia merdeka mengutamakan perlindungan buruh. Ini dapat dilihat dalam UU terkait Perburuhan/Ketenagakerjaan yang selama ini diterbitkan. Terakhir UU No.13 Tahun 2003. Misalnya, jika buruh bekerja dalam situasi yang mengancam, perlindungan terhadap buruh menjadi perhatian utama. Dalam hal perusahaan tidak mampu memberi perlindungan itu, negara yang bertanggung jawab.
Dia melanjutkan bagaimanapun situasinya hak normatif pekerja harus dilindungi, misalnya upah minimum sebagai standar minimum yang dibutuhkan buruh untuk hidup. Jika perusahaan tidak mampu memenuhi hak normatif pekerja, pemerintah harus turun tangan (mencari solusi terbaik). “Pemerintah harus menggulirkan kebijakan yang menjamin perlindungan buruh dan memberi insentif bagi perusahaan,” katanya.
Author : M Nur Sholikin
Photo : BAS
Source: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ea120339c1c3/mendorong-regulasi-ketenagakerjaan-atasi-dampak-covid-19-