Menurut PSHK, seharusnya penerapan omnibus law dijadikan salah satu metode membenahi ribuan regulasi yang saling tumpang tindih (hiper regulasi) di tingkat pusat dan daerah. Sebelumnya, PSHK juga mengusulkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara total.
Menkopolhukam Mohammad Mahfud MD mengatakan tahap awal merealisasikan omnibus law harus merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Tahap pertama kita harus mengubah dulu secepatnya, nanti saya ke DPR siang ini, harus mengubah dulu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011,” kata Mahfud MD di kegiatan Rakornas Forkopimda di SICC, Bogor, Rabu (13/11/2019) seperti dikutip Antara.
Mahfud beralasan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini perlu direvisi karena belum mengakomodasi perubahan undang-undang yang dilakukan secara serentak. “Perubahan harus satu-satu undang-undang dengan urgensi berbeda-beda. Nah, sekarang urgensinya disatukan,” ucapnya.
Dia menerangkan omnibus law yakni undang-undang yang menyelesaikan masalah hukum yang berbeda-beda dalam satu paket penyelesaian. “Tidak satu-satu, karena kalau satu-satu ego sektoralnya muncul. Kalau omnibus law, undang-undang aslinya tetap diberlakukan, tapi materi-materi yang saling bersangkutan diangkat ke atas dalam satu undang-undang (baru),” jelasnya.
Karena itu, lanjutnya, tahun pertama periode Kabinet Indonesia Maju berupaya membereskan persoalan substansi aturan-aturan hukum untuk mendukung visi Presiden Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin terutama soal investasi.
“Kenapa substansi dulu, karena substansi sering menghambat masalah investasi dan sebagainya. Dulu ketika Luhut Panjaitan jadi Menkopolhukam sebentar, sebagai pakar saya diundang mendiskusikan ini, banyak hukum yang bertentangan satu sama lain,” kata Mahfud. Baca Juga: Alasan PSHK UU Pembentukan Peraturan Perlu Direvisi Total
Dia bercerita Presiden Jokowi pernah memintanya waktu bongkar muat atau dwelling time di pelabuhan bisa dipercepat. Tetapi, karena berbagai sektor memiliki substansi aturan-aturan hukum berbeda-beda, akhirnya permintaan percepatan dwelling time dari 8 hari menjadi 4 hari tetap tidak bisa juga terealisasi.
Mahfud menambahkan selain persoalan substansi, yang harus dibenahi mengenai aparat penegak hukum dan budaya hukum masyarakatnya.
Pandangan sempit
Sebelumnya, Peneliti senior Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin menilai pembentukan omnibus law yang hanya diarahkan peningkatan investasi dinilai sebagai pandangan sempit. Seharusnya, penerapan omnibus law dijadikan sebagai salah satu metode membenahi ribuan regulasi yang saling tumpang tindih (hiper regulasi) di tingkat pusat dan daerah.
“Kami mendorong dalam penataan peraturan perundang-undangan tidak terjebak pada peningkatan investasi, tapi omnibus law ini bisa jadi ‘resep baru’ dalam penataan regulasi. Kami berharap Baleg melihat dengan pendekatan itu,” usul Sholikin dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi, Senin (4/11/2019) lalu.
Sholikin melansir hasil penelitian PSHK terkait penataan regulasi yang menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 s.d. Oktober 2018 ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Apabila dirata-rata, 6 regulasi lahir setiap hari di Indonesia. Sektor ini dinilai menjadi catatan merah rapor bidang legislasi Presiden Jokowi di periode 2014–2019.
“Karena itu, omnibus law memang cocok diterapkan di negara yang hiper regulasinya saling tumpang tindih, ‘gemuk’, seperti Indonesia. Omnibus law ini semestinya diarahkan pada pembenahan regulasi yang lebih luas, tak melulu hanya demi peningkatan investasi sebagaimana seringkali didengungkan Presiden,” kritiknya.
Dia mengutip kajian Bappenas Tahun 2018 yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia terhambat akibat dua faktor. Regulasi yang tumpang tindih dan ego sektoral kementerian/lembaga. Karena itu, penerapan omnibus law tanpa pembenahan ego sektoral di kementerian/lembaga, dimungkinkan tidak akan berhasil sebagaimana harapan Presiden.
Mantan Direktur Eksekutif PSHK periode 2015-2019 ini meragukan pembentukan omnibus law yang bakal mencabut banyak UU dan peraturan di bawahnya menjadi 1 UU. Karena itu, PSHK berharap melalui pembentukan Panja RUU omnibus law, Baleg dapat menyisir dan menata semua regulasi yang berserakan dan bertabrakan satu sama lain. Kemudian melanjutkan revisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
PSHK beralasan materi muatan revisi UU No. 12 Tahun 2011 oleh pembentuk UU periode 2014-2019 saat rapat paripurna 24 September lalu dinilai belum komprehensif. PSHK mengusulkan perlu revisi atau penyempurnaan menyeluruh terhadap UU No. 15 tahun 2019 yang dimasukan dalam Prolegnas 2020 atau Prolegnas 2019-2024. Bahkan, perlu dibentuk UU baru menggantikan UU 12/2011 tersebut.
“Penyempurnaan UU 12/2011 tidak hanya terkait tata urutan dan materi muatan perundang-undangan, tetapi juga termasuk tahapan penyusunan, metode penyusunan peraturan, sampai penataan ulang kelembagaan penyusunan peraturan perundang-undangan,” ujar Peneliti PSHK Fajri Nursyamsi beberapa waktu lalu.
Fajri menilai materi muatan Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya sebagian kecil isinya terkesan hanya mengakomodir kepentingan DPR dan pemerintah. Salah satunya, ketentuan carry over terkait pembahasan RUU yang tidak selesai dalam satu periode pemerintahan bisa dilanjutkan pembahasannya pada periode berikutnya.
“Saat ini yang direvisi masih hanya 10 persen. Padahal, banyak muatan materi dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang perlu diubah,” kata Fajri.
Salah satunya, dia mencontohkan kategori materi muatan dalam peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden tidak jelas dan sulit dibedakan. “PP dan Perpres itu bedanya apa? Satu sisi dua-duanya dibentuk oleh pemerintah, tapi di sisi lain ada yang menilai PP merupakan delegasi dari UU. Faktanya, materi muatan Perpres dan PP itu bedanya apa?” ujarnya mempertanyakan.
Persoalan lain, kata Fajri, hierarki peraturan perundang-undangan yang selama ini semua kementerian/lembaga mendapat kewenangan dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena tidak ada pembedaan peraturan perundang-undangan dan peraturan internal lembaga. “Jadi, sebenarnya mana yang peraturan perundang-undangan dan mana yang peraturan internal. Akibatnya, saat ini terlalu banyak peraturan perundang-undangan,” katanya.
Artikel ini telah tayang di hukumonline.com dengan judul “Menkopolhukam: Omnibus Law Butuh Revisi UU Pembentukan Peraturan”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dcbd9a089d87/menkopolhukam–omnibus-law-butuh-revisi-uu-pembentukan-peraturan/
Penulis : Agus Sahbani