INDOPOS.CO.ID – Hasil kajian Growth Diagnostics Kementerian PPN/Bappenas pada 2018 menunjukkan salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah regulasi dan institusi. Beberapa indikator yang juga masuk ke dalam the most binding constraint, antara lain, regulasi yang tumpang tindih dan relatif masih tertutup termasuk di pasar tenaga kerja. Begitu pula kualitas institusi yang masih rendah terutama pada isu koordinasi kebijakan.
Namun menata regulasi yang tertib dan sederhana menjadi solusi sekaligus suatu tantangan, karena inventarisasi regulasi masih tersebar di empat K/L, yaitu: Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan Sekretaris Kabinet.
”Melihat kewenangan regulasi yang tersebar di keempat K/L memiliki potensi disharmoni yang tinggi, pemikiran adanya suatu lembaga pengelola regulasi yang akan mengintegrasikan fungsi penyusunan dan pembentukan peraturan, serta memperkuat kewenangannya menjadi suatu keniscayaan. Lembaga ini akan fokus pada penyusunan dan pembentukan regulasi yang sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional,” jelas Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam Media Briefing Reformasi Regulasi bertema Dalam Rangka Mewujudkan Sinergi Antara Kebijakan dan Regulasi untuk Mendukung Pencapaian Prioritas Pembangunan Nasional, Rabu (6/2/2019), di Ruang Rapat Djunaedi Hadisumarto 1-2, Kementerian PPN/Bappenas.
Bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), tahun lalu Kementerian PPN/Bappenas juga telah melakukan Background Study Reformasi Regulasi dalam rangka penyusunan RPJMN Teknokratik 2020-2024. Kajian ini menghasilkan lima rekomendasi, yaitu: (i) sinkronisasi sistem perencanaan peraturan perundang-undangan dengan perencanaan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah; (ii) pengendalian proses pembentukan peraturan perundang-undangan melalui harmonisasi dan sinkronisasi yang lebih ketat; (iii) optimalisasi perencanaan legislasi yang lebih terukur dan relevan dengan kebutuhan; (iv) pelembagaan fungsi monitoring dan evaluasi dalam sistem peraturan perundang-undangan; serta (v) pengintegrasian fungsi dalam sistem peraturan perundang-undangan melalui penataan kelembagaan dan penguatan sistem.
”Hasil background study reformasi regulasi ini akan kami tindak lanjuti dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk mempercepat sinergi kebijakan dan regulasi yang diharapkan dapat memberikan stimulus positif untuk mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional,” ujar Bambang.
Dikatakan, penataan regulasi juga harus sejalan dengan sistem KRISNA e-planning, sehingga pemerintah dapat melakukan cut loss budget pada tahapan perencanaan yang berbasis pada sinergi kebijakan regulasi. Untuk lebih menunjukan dukungan teknologi informasi terhadap agenda reformasi regulasi untuk mencapai prioritas pembangunan nasional, Kementerian PPN/Bappenas akan menunjukan showcase bagaimana teknologi informasi dapat mempercepat penelurusan regulasi terkait UMKM yang diatur oleh berbagai K/L, namun tidak sinkron substansi pengaturannya satu dengan lainnya, dan keterkaitan dengan kebijakan menjadi penting untuk direvieu kembali.
”Kementerian PPN/Bappenas akan membangun suatu sistem Teknologi Informasi untuk mendukung reformasi regulasi berbasis machine learning dan artificial intelligence, serta diperkuat perhitungan Cost and Benefit Analysis dan Regulatory Impact Analysis. Sistem ini berfungsi mengidentifikasi sinergi kebijakan dan regulasi, klasifikasi regulasi, dan keterkaitan antar regulasi,” jelasnya. Sinergi Kebijakan dan Regulasi penting untuk mengurangi inefisiensi anggaran pembangunan nasional melalui penyusunan regulasi yang terukur. Klasifikasi Regulasi penting untuk melihat pemetaan K/L yang terlibat pada sektor pembangunan dan mengawal keterpaduan regulasi di tingkat pusat dan daerah. Sementara Keterkaitan antar Regulasi sebagai landasan awal untuk meminimalkan potensi tumpang tindih kewenangan antar K/L yang berakibat pada output perekonomian nasional dan penurunan produktivitas pelaku usaha.
Konkrit permasalahan regulasi di Indonesia dapat dilihat pada regulasi usaha kecil yang tersebar ke dalam 23 K/L, sehingga menimbulkan multiple definition, misinterpretasi, serta ketidakpastian bagi para pelaku usaha. Pada 2018, Kementerian PPN/Bappenas bersama Universitas Pelita Harapan-Institute of Economic Analysis of Law and Policy (UPH-IEALP) telah melakukan kajian regulasi di bidang UMKM secara kuantitatif dengan menggunakan tools economic analysis of law terhadap 29 regulasi dari total 48 regulasi UMKM yang diinventarisasi pada tahap awal. ”Konsekuensi pasti dari beban regulasi tersebut adalah biaya tinggi, time consuming, dan proses yang rumit. Hal ini juga secara langsung berimplikasi pada produktivitas dan daya saing investor pemula,” kata Bambang.
Sejak 2015, agenda reformasi regulasi telah diinisiasi Kementerian PPN/Bappenas. Pada 2016-2017, Kementerian PPN/Bappenas mengawal simplifikasi regulasi dengan fokus pada bidang perizinan, investasi, tata niaga ekspor dan impor, dan kemudahan berusaha. Keempat fokus dipilih karena berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang salah satunya diindikasikan dengan peringkat Ease of Doing Business (EODB) Indonesia. Pada 2016, simplifikasi regulasi menghasilkan 324 regulasi dicabut, 75 regulasi direvisi, serta sebanyak 19 regulasi beririsan dengan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) dari total 20 K/L. Sementara pada 2017, simplifikasi regulasi menghasilkan 106 regulasi dicabut, 91 regulasi direvisi, dan 237 regulasi digabung menjadi 30 regulasi dari total 21 K/L.(srv)
Redaktur: Dani Tri Wahyudi
Sumber:
Media : indopos.co.id
Tanggal : 6 Februari 2019