Namun tidak terbatas sektor investasi, tetapi diarahkan pada pembenahan regulasi yang saling tumpah tindih/bertentangan di semua sektor.
Gagasan Presiden Joko Widodo untuk membentuk omnibus law (penyederhanaan peraturan) terus mendapat kritikan/masukan dari elemen masyarakat. Pasalnya, pembentukan omnibus law yang hanya diarahkan peningkatan investasi dinilai sebagai pandangan sempit. Seharusnya, penerapan omnibus law dijadikan sebagai salah satu metode membenahi ribuan regulasi yang saling tumpang tindih (hiper regulasi) di tingkat pusat dan daerah.
Pandangan itu disampaikan peneliti senior Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi di Komplek Gedung Parlemen, Senin (4/11/2019). “Kami mendorong dalam penataan peraturan perundang-undangan tidak terjebak pada peningkatan investasi, tapi omnibus law ini bisa jadi ‘resep baru’ dalam penataan regulasi. Kami berharap Baleg melihat dengan pendekatan itu,” usul Sholikin.
Sholikin melansir hasil penelitian PSHK terkait penataan regulasi yang menunjukkan kurun waktu Oktober 2014 s.d. Oktober 2018 ada total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Apabila dirata-rata, 6 regulasi lahir setiap hari di Indonesia. Sektor ini dinilai menjadi catatan merah rapor legislasi Presiden Jokowi di periode 2014–2019.
“Karena itu, omnibus law memang cocok diterapkan di negara yang hiper regulasinya saling tumpang tindih, ‘gemuk’, seperti Indonesia. Omnibus law ini semestinya diarahkan pada pembenahan regulasi yang lebih luas, tak melulu hanya demi peningkatan investasi sebagaimana seringkali didengungkan Presiden,” kritiknya.
Dia mengutip kajian Bappenas Tahun 2018 yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia terhambat akibat dua faktor. Regulasi yang tumpang tindih dan ego sektoral kementerian/lembaga. Karena itu, penerapan omnibus law tanpa pembenahan ego sektoral di kementerian/lembaga, dimungkinkan tidak akan berhasil sebagaimana harapan Presiden.
Mantan Direktur Eksekutif PSHK periode 2015-2019 ini meragukan pembentukan omnibus law yang bakal mencabut banyak UU dan peraturan di bawahnya menjadi 1 UU. Karena itu, PSHK berharap melalui pembentukan Panja RUU omnibus law, Baleg dapat menyisir dan menata semua regulasi yang berserakan dan bertabrakan satu sama lain. Kemudian melanjutkan revisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Poin penting kami, omnibus law seharusnya menjadi sebuah pendekatan baru, tetapi tidak sebatas (sektor) investasi, tapi penataan regulasi yang hiper,” tegasnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Universitas Andalas Feri Amsari mengingatkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mesti mengacu Pasal 5 UU 12/2011 yakni tentang adanya asas/prinsip kejelasan, tujuan, kedayagunaan hingga keterbukaan dalam merumuskan RUU. “Tidak adanya keharusan membuat omnibus law,” kata Feri dalam kesempatan yang sama.
Feri menduga gagasan membentuk omnibus law lantaran adanya tekanan terhadap Presiden Jokowi agar ada kemudahan dalam perizinan investasi. Dia mengakui kepastian hukum bagi para investor adalah hal utama. Persoalannya, kata Feri, omnibus law tak boleh semata-mata berdasarkan keinginan pasar bagi pemilik modal dan penerapan omnibus law sebenarnya tidak mudah.
“Menjadi soal menyatukan berbagai UU yang objeknya berbeda dalam satu UU. Sektor berkaitan investasi terdapat sekitar 74 UU. Seperti UU Minerba, hingga UU Ketenagakerjaan. Bagaimana bisa menggabungkan 74 UU dalam satu tahun, prosesnya mungkin sulit. Ini kan seperti mendirikan candi dalam satu malam. Mohon jangan dilaksanakan kalau belum bisa, kalau hanya demi kepentingan investor semata,” sarannya.
Wakil Ketua Baleg DPR Ibnu Multazam mengaku optimis bisa membentuk omnibus law bersama pemerintah. Baleg dapat menyisir UU yang berkaitan dengan rumpun bidang ekonomi dan bidang lain. “Kita nanti mendengar penjelasan pemerintah, termasuk meminta naskah akademik yang dibuatnya,” kata Ibnu.
Anggota Baleg Ledia Hanifa menilai omnibus law seolah “menampar” wajah Baleg yang juga berfungsi mengharmonisasi dan sinkronisasi antarperaturan perundang-undangan dalam proses pembuatan RUU. Karena itu, Baleg tak hanya memiliki berfungsi menggabungkan UU menjadi satu UU.
“Tapi menyisir dan mengharmonisasi semua UU. Kita RUU Perkoperasian dan RUU Kewirausahaan tidak selesai,” katanya.
Sebagai informasi, Omnibus Law merupakan sebuah peraturan perundang-undangan yang mengandung lebih dari satu muatan pengaturan. Konsep ini umumnya muncul di negara-negara yang menganut sistem common law seperti Amerika untuk mengatasi tumpah tindihnya regulasi. Isu terkait ketengakerjaan dan lapangan pekerjaan dinilai paling genting untuk dibuat omnibus law-nya untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.
Artikel ini telah tayang di hukumonline.com dengan judul “Omnibus Law Mestinya Jadi Pintu Masuk Pembenahan Hiper Regulasi”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dc050acf40b2/omnibus-law-mestinya-jadi-pintu-masuk-pembenahan-hiper-regulasi
Penulis : Rofiq Hidayat