Seharusnya pemerintah membangun sistem manajemen regulasi nasional
Ratusan, bahkan mungkin ribuan, peraturan perundang-undangan lahir setiap tahun. Mulai dari peraturan perundang-undangan tingkat pusat hingga ke desa-desa. Presiden punya kewenangan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Perpres; sementara para pembantunya yang tersebar di 22 Kementerian juga berwenang menerbitkan Peraturan Menteri (Permen). Belum lagi peraturan di level daerah provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia. Tidak mengherankan jika banyak yang menyebut Indonesia mengalami hiperregulasi atau obesitas peraturan.
Selain menghadapi persoalan hiperregulasi, Indonesia tak memiliki jaminan atau mekanisme yang memastikan bahwa setiap regulasi memiliki kualitas yang baik. Jaminan kualitas itu seharusnya dapat dijaga melalui sistem manajemen regulasi nasional. Rencana pembentukan Badan Pusat Legislasi Nasional (BPLN) sejatinya diarahkan pada sistem manajemen regulasi (regulatory management system)tadi. Cuma, saat ini Pemerintah lebih memilih memperkenalkan Omnibus Law ketimbang membangun sistem manajemen regulasi nasional.
Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, berpendapat bahwa opsi omnibus law sebenarnya tidak menyentuh akar persoalan regulasi di Indonesia. Pendekatan yang digunakan tidak untuk jangka panjang. Penghapusan, pencabutan, atau pembatalan pasal-pasal dari 80-an Undang-Undang mungkin saja memperbaiki keadaan dalam jangka pendek. Tetapi dalam jangka panjang justru dapat menimbulkan persoalan. “Akar masalahnya malah tidak disasar dan omnibus tidak mampu mencapai itu,” kata Bibip, sapaan Bivitri, dalam diskusi Setting and Appraising Regulatory Institution, di Jakarta, Jumat, (28/02).
Hal itu diamini seorang penasehat regulasi, Cesar Cordova, yang diketahui pernah terlibat sebagai penasehat sebanyak 45 negara dalam melakukan reformasi regulasi. Menurutnya, hal terpenting dalam reformasi regulasi adalah kualitas substansi regulasi. Kualitas itu, katanya, tak akan pernah dapat terwujud tanpa adanya sistem manajemen regulasi (SMR) yang baik.
“SMR inilah yang seharusnya menjadi watchdog untuk mengontrol kualitas regulasi. Banyak negara juga mengalami tumpang tindih aturan. Bila tidak ada SMR, mereka tak akan bisa menyelesaikan masalah itu,” tukas Cordova dalam diskusi yang sama.
Berikut ini beberapa aturan mengenai SMR di sejumlah negara.
Cesar mengatakan terlalu banyak regulasi justru akan membunuh (kualitas) regulasi itu sendiri. Simplifikasi regulasi melalui omnibus law dengan tetap membiarkan begitu banyaknya Kementerian yang juga bisa mengeluarkan aturan sendiri jelas akan membuat masalah berlanjut tak berkesudahan. Ia menyarankan agar Indonesia membentuk SMR dan mengisinya dengan para ahli, guru besar, dan praktisi terkemuka untuk mengkaji setiap kualitas aturan yang hendak dikeluarkan.
“Memang akan cukup mahal membayar orang yang berkualitas. Tapi regulasi yang dihasilkan tentu akan sangat berkualitas pula. Indonesia dengan 22 Kementrian yang bisa mengeluarkan regulasi saya fikir begitu gemuk,” tukasnya.
Lantas sudahkah Indonesia memiliki SMR ini? Bagaimana dengan Direktorat Perundang-undangan yang saat ini sudah ada di bawah Kementerian Hukum dan HAM? Bisakah itu dikatakan SMR?
Mengutip temuan PSHK, Bivitri mengungkapkan SMR seperti yang dimaksud Cordova belum ada sama sekali di Indonesia. Adapun fungsi yang dijalankan Direktorat Perundang-undangan (PUU) Kumham belum menyentuh fungsi SMR. Sementara, katanya, Kementerian, Lembaga, OJK, BI, dan lainnya banyak sekali yang punya otoritas membuat aturan. Akhirnya, ego sektoral antar Lembaga tak bisa dielakkan ditambah lagi tak menutup kemungkinan adanya kepentingan politik yang terselubung di banyak sektor itu. “Apalagi sekarang soal Perda, tidak ada kontrol sama sekali. Sudah tidak diperbolehkan,” tukasnya.
Sehingga, lanjutnya, seringkali bila ditemukan norma yang saling bertentangan (conflicting norms)dan tidak bisa diselesaikan secara institusional oleh Kumham, ujungnya model penyelesaiannya hanyalah mediasi. “Karena tidak ada otoritas dan Kumham juga bukan Pengadilan yang bisa memutus. Nah, jadi kan bukan jalan keluar yang baik juga. Untuk itu memang butuh Lembaga yang memiliki otoritas yang lebih jelas di bawah presiden untuk mengatur manajemen regulasi,” tukasnya.
Ia juga menyinggung janji kampanye Jokowi untuk membentuk SMR melalui BPLN. Seribu sayang, hingga kini tak kunjung direalisasikan. Alih-alih membenahi quality control yang masih absen, pemerintah malah mengeluarkan Omnibus Law yang sebetulnya tak menyentuh akar persoalan sama sekali.
Bivitri mencontohkan, Kementrian PUPR membuat aturan yang bertentangan dengan keinginan daerah untuk perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga terjadi benturan kepentingan. Jika ada Pusat Legislasi Nasional, maka hanya satu otoritas yang mengeluarkan aturan. “Selama ini di setiap Kementrian memang ada drafters yang sama-sama sudah mengikuti training, tapi bisa dibayangkan kalau nanti ada satu manajemen sistem untuk regulasi yang diisi oleh full-experts seperti yang disebutkan pak Cordova. Mungkin cost-nya tinggi untuk punya orang yang berkualitas di situ, tapi hasilnya akan bagus,” pungkasnya.
Peneliti Senior PSHK, M. Nur Sholikin pernah mengungkapkan kekecewaannya atas janji Jokowi untuk membenahi obesitas regulasi melalui BPLN yang tak kunjung dibentuk. Padahal, masyarakat berharap besar dengan ide pembentukan badan khusus regulasi di internal pemerintahan untuk perencanaan, penyiapan naskah peraturan, harmonisasi, monitoring, evaluasi regulasi. “Fungsi ini harus dijalankan badan khusus manajemen regulasi, bukan lagi berada di struktur Kemenkumham yang secara kelembagaan juga mengurusi bidang lain,” ujarnya
Artikel ini telah tayang di hukumonline.com dengan judul “Omnibus Law Tak Sentuh Akar Persoalan Hiperregulasi”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e5d057a35aa5/omnibus-law-tak-sentuh-akar-persoalan-hiperregulasi
Penulis : Hamalatul Qur’ani
Photo : RES