Ahmad Fikri Assegaf mengatakan bahwa keadaan legislasi kita dari ujung keujung memiliki banyak masalah mendalam yang menyebabkan kita berada dalam kondisi kritis regulasi. Sementara keberadaan lembaga independen yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tidak kunjung dieksekusi pembentukannya. Padahal, melihat permasalahan regulasi saat ini, yang paling penting adalah harus ada lembaga yang benar-benar mengakomodir pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi peneliti membahas identifikasi pembenahan regulasi melalui revisi kedua UU No. 12 tahun 2011. Diskusi diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan dilakukan secara online pada Kamis, (9/4/2020).
Selain Ahmad Fikri Assegaf, diskusi juga menghadirkan Fitriani A. Sjarif yang merupakan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam pemaparannya, Fitri mengungkapkan bahwa yang menjadi masalah regulasi saat ini berawal dari ego sektoral yang sangat tinggi dari banyak sektor, serta banyaknya peraturan delegasi yang diamanatkan oleh sebuah undang-undang. Kemudian, masing-masing tahap memiliki andil pada masalah regulasi yang muncul sekarang, pada waktu proses pembentukannya yang tidak korenatif dan adanya leading sector yang tidak tepat serta keberadaan naskah akademik yang hanya menjadi syarat formalitas.
Dalam diskusi tersebut, Fitri juga menyoroti pembentuk undang-undang juga terlalu semangat untuk memberikan peraturan delegasi. Secara khusus, Fitri memberi catatan terhadap keberadaan Pasal 7 Ayat (2) yang memberikan ruang pada pembentukan regulasi di luar produk hukum yang masuk dalam hierarki yang terdapat pada Pasal 7 ayat (1). Hal inilah yang menyebabkan banyak bermunculan peraturan-peraturan delegasi, seperti peraturan menteri.