Permasalahan teknis aturan penyusunan RUU, konflik internal di lembaga pemerintahan, politis. Namun, berlakunya UU No.15/2019 menjadi pemicu bagi DPR untuk meningkatkan kerja legislasi dalam pembahasan RUU.
Secara kuantitas kinerja legislasi DPR periode 2014-2019 mengalami penurunan cukup signifikan dibanding dua periode sebelumnya. Selain kuantitas, kualitas (materi muatan) produk legislasi kerap berujung “gugatan” ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran dinilai bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, ada produk legislasi DPR yang tidak sesuai antara judul Rancangan Undang-Undang dengan materi muatannya.
Demikian disampaikan peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin dalam seminar bertajuk “Menggagas Kebijakan Reformasi Regulasi Pasca Pemilu 2019 dan Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan” di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Sholikin menilai kinerja legislasi DPR periode 2014-2019 mengecewakan karena capaian penyelesaian produk RUU Prolegnas rendah yang hanya menghasilkan 91 RUU. Rinciannya, 36 RUU Prolegnas 2014-2019 dan 55 RUU kumulatif terbuka. Hasil itu lebih rendah bila dibandingkan kinerja DPR periode 2009-2014 yang menghasilkan mencapai 125 RUU.
Dia berharap berlakunya UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dapat meningkatkan kinerja legislasi DPR periode 2019-2024. Namun, dia menekankan pentingnya ruang partisipasi publik diperluas untuk memberi masukan. Menurutnya, kegagalan DPR, salah satunya disebabkan minimnya ruang partisipasi publik dalam setiap pembahasan RUU.
Salah satu contohnya, kata Sholikin, pembahasan Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK). Revisi UU KPK dikebut dalam waktu dua pekan tanpa adanya peran partipasi publik termasuk tidak melibatkan KPK sebagai lembaga yang berkepentingan. “Relasi publik dan DPR sudah mulai berjarak dalam hal penyusunan regulasi yang mengakibatkan kepercayaan publik sangat rendah terhadap DPR,” katanya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Al-Muzammil Yusuf menilai menurunnya produk legislasi DPR disebabkan dua hal. Pertama, persoalan teknis aturan penyusunan UU. Dia menerangkan UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) telah menghapus kewenangan Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam mengusulkan dan menyusun RUU. Padahal, peran Baleg dalam UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3 jauh lebih aktif karena memiliki kewenangan mengusulkan dan menyusun draft RUU.
Namun, di penghujung DPR periode 2014-2019, kewenangan Baleg itu dikembalikan melalui Pasal 105 UU No.2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU No.17 Tahun 2014 tentang MD3. Makanya, tak heran di ujung berakhirnya periode DPR 2014-2019, Baleg DPR ngebut membahas sejumlah RUU yang berujung kualitas produk RUU yang dihasilkan rendah.
Kedua, konflik di internal lembaga pemerintahan juga menjadi sebab menurunnya kinerja legislasi DPR. Dia mengungkapkan antar kementerian/lembaga kerap berbeda pandangan menyikapi sebuah RUU. Misalnya, RUU Pertanahan. Awalnya, perkembangan pembahasan RUU Pertahanan di Komisi II DPR berjalan baik. Namun, belakangan antara Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terjadi silang pendapat terkait kewenangan.
“Saat pengambilan keputusan politik, kementerian itu pun enggan hadir atau tidak mau datang dan tidak bisa ambil keputusan. Jadi kendala juga datang dari pemerintah,” lanjutnya.
Ketiga, persoalan politik di internal DPR. DPR periode 2014-2019 mengalami empat kali pergantian pimpinan DPR. Awalnya, Ketua DPR dijabat Setya Novanto, digantikan Ade Komarudin, digantikan lagi oleh Setya Novanto. Lantaran tertangkap KPK, digantikan lagi oleh Bambang Soesatyo. Belum lagi, perhelaran Pemilihan Gubernur DKI pada 2016 dan Pemilu 2019 yang berdampak langsung terhadap kerja legislasi DPR.
Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul mengakui realisasi produk legislasi yang dihasilkan DPR periode 2014-2019 jauh dari target. Namun, capaian legislasi DPR tidak melulu berdasarkan daftar Prolegnas jangka panjang ataupun prioritas. “Pembuatan RUU juga dapat diusulkan berdasarkan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Inosentius dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, adanya RUU kumulatif terbuka membuka peluang masuknya RUU di luar Prolegnas. Sebut saja, Revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang masuk Prolegnas di pertengahan jalan, hingga akhirnya disahkan menjadi UU seraya kerja legislasi berdasarkan daftar Prolegnas pun tetap berjalan.
Dia berharap berlakunya UU No.15/2019 menjadi pemicu bagi DPR dalam meningkatkan kerja legislasi dalam pembahasan RUU yang belum rampung di periode sebelumnya (carry over). “Seharusnya pemetaan terhadap setiap komisi diharapkan dapat merampungkan 2 sampai 3 RUU,” katanya.
Artikel ini telah tayang di hukumonline.com dengan judul “Penyebab Menurunnya Produk Legislasi DPR”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5da59e025ffa3/penyebab-menurunnya-produk-legislasi-dpr/
Penulis: Rofiq Hidayat