Meskipun terdapat putusan MK 138/PUU-VII/2009, ketiadaan penafsiran baku tentang frasa “masa sidang berikutnya” dalam Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2002 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-10 mulai dibahas Badan Anggaran pada Senin (4/5/2020). Keputusan itu merupakan hasil rapat Badan Musyarah (Bamus) DPR. Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin mengatakan pembahasan Perppu No.1 Tahun 2020 sesuai tata tertib dan mekanisme yang berlaku.
Aziz mengatakan unsur kegentingan yang memaksa sesuai bunyi Pasal 22 UUD Tahun 1945 menjadikan dasar pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020. Bagi Aziz, unsur kegentingan memaksa atau mendesak telah terpenuhi. Hanya saja, nantinya semua bergantung pembahasan Perppu ini di Banggar DPR. Namun, Aziz tak dapat memastikan apakah Perppu 1/2020 ini dapat diambil keputusan untuk diundangkan di masa persidangan kali ini atau berikutnya.
Politisi Partai Golkar itu berpendapat masa sidang kali ini bakal berakhir pada 12 Mei 2020 mendatang. “Kepastian nasib Perppu bergantung pembahasan dan perdebatan di Banggar. Kita minta masyarakat memantau dan menunggu hasil pembahasan di Banggar. Tunggu hasil di banggar saja,” kata mantan Ketua Komisi III itu.
MerujuK Pasal 52 (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengharuskan Perppu diajukan pemerintah ke DPR dalam masa persidangan berikutnya. Frasa “persidangan berikut” dalam Pasal 52 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan itu semestinya masa persidangan setelah masa reses. DPR saat ini masih dalam masa persidangan.
Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Solikhin menilai batasan waktu persidangan berikutnya menunjukan saat presiden membuat Perppu dalam situasi DPR tidak dalam kondisi masa persidangan. Artinya, presiden membuat Perppu saat DPR reses yang tidak memungkinkan ada sidang atau rapat. “Pertanyaannya, sekarang kenapa DPR ada dalam masa sidang, tapi Presiden mengajukan Perppu?” ujarnya.
Menurutnya, materi muatan Perppu sejatinya sama seperti pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU). Dia menilai idealnya materi Perppu sebenarnya dapat dibahas bersama DPR yang sedang berada dalam masa sidang, sehingga legitimasi normanya menjadi lebih kuat setelah disetujui DPR dan presiden. Sayangnya, pembentukan Perppu No.1 Tahun 2020 masih menuai banyak perdebatan.
Meski begitu, usulan terbaik merevisi kembali UU 12/2011. Misalnya, menetapkan kriteria kegentingan yang memaksa secara jelas untuuk menentukan kapan Perppu dapat dibentuk/diterbitkan. Sebab, selama ini kriteria kegentingan memaksa seringkali memunculkan perbedaan penafsiran.
“Meskipun sudah ada putusan MK tentang itu. Kapan presiden bisa keluarkan Perppu apakah saat masa sidang atau masa reses. Ini harus ada kejelasan tentang rentang waktu untuk membentuk Perppu,” usul mantan Direktur Eksekutif PSHK itu.
Dia menerangkan awalnya ketiadaan batasan yang jelas tentang “keadaan yang memaksa”. Dalam konteks ini lahir putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori kegentingan yang memaksa. Pertama, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
Langgar konstitusi
Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam menilai Perppu No. 1 tahun 2020 berpotensi melanggar konstitusi. Sebab, terdapat sejumlah pasal cenderung bertentangan dengan UUD 1945. Pertama, terkait dengan kekuasaan pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan kerugian keuangan negara.
Dia menilai terkait dengan APBN, Pasal 12 ayat (2) Perppu 1/2020 mengatur perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Baginya Pasal 12 ayat (2) itu mengamputasi kewenangan DPR. “Dan membuat (perubahan, red) APBN tidak diatur dalam UU atau yang setara,” kata dia.
Anggota Banggar ini menjelaskan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 telah menyatakan kedudukan dan status APBN melalui UU yang ditetapkan setiap tahun. Sementara Rancangan APBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3. “Konstitusinya sudah jelas. Jadi yang sudah berjalan ini cenderung bertentangan dengan konstitusi,” kata dia.
Kedua, terkait imunitas pengambil kebijakan. Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 menyebutkan “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Begitu pula Pasal 27 ayat (3) menyebutkan, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”. Menurut Ecky, rumusan norma Pasal 27 ayat (2) dan (3) bertentangan dengan prinsip supermasi hukum dan prinsip negara hukum. Padahal UUD 1945 melalui perubahan pertama tahun 1999 hingga perubahan keempat tahun 2002, telah menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum.
“Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28D UUD 1945. Ini sudah jelas,” tegasnya.
Ketiga, terkait kerugian negara. Perppu Pasal 27 ayat (1) menyebutkan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”.
“Ini juga tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara dan meniadakan adanya peran BPK untuk menilai dan mengawasinya,” kata dia.
Distribusi kekuasaan
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menilai UUD 1945 menjamin adanya distribution of power agar mekanisme check and balances dapat bekerja dengan baik. Menurutnya, DPR memegang kekuasaan membentuk UU sesuai bunyi Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Kemudian memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sesuai dengan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.
Sedangkan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Sementara MK dan MA, lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diatur Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
“Dengan memperhatikan jaminan yang dikokohkan dalam UUD 1945, maka beberapa pasal krusial dalam Perpu 1/2020 berpotensi melanggar konstitusi. Ini harus menjadi perhatian bersama untuk menjaga sistem bernegara yang baik,” harapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Muhidin M Said mengatakan banggar mulai menggelar rapat untuk membahas Perppu Nomor 1 Tahun 2020 pada Senin (4/5). Dia mengatakan rapat tersebut mengundang pihak Pemerintah untuk mendengarkan penjelasan terkait dikeluarkannya perppu tersebut. Seperti Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan.
Artikel ini telah tayang di hukumonline.com dengan judul “Polemik Penerbitan Perppu Momen Revisi UU Pembentukan Peraturan”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5eafc674708bf/polemik-penerbitan-perppu-momen-revisi-uu-pembentukan-peraturan?page=all.
Penulis : Rofiq Hidayat
Ilustrasi: BAS