Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menggelar Webinar dengan mengusung tema “Proyeksi Penerapan Metode Omnibus Law dalam Penyusunan Undang-Undang” Selasa, 14 April 2020. Diskusi daring ini menghadirkan tiga orang pembicara yaitu: Dr. Fitriani A. Sjarif (Akademisi Fakultas Hukum UI), Dr. Bayu Dwi Anggono (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember) dan Fajri Nursyamsi,S.H.,M.H. (Peneliti PSHK dan Pengajar STH Indonesia Jentera). Webinar ini merupakan salah satu kegiatan dalam upaya advokasi PSHK untuk mendorong revisi menyeluruh atas UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasca pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024, Konsep Omnibus Law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi sangat populer di Indonesia. Presiden menganggap Omnibus Law dapat menjadi solusi disharmoni/tumpang-tindih peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Namun, penyiapan Omnibus justru menimbulkan permasalahan di masyarakat, mulai dari proses penyusunan yang sangat singkat dan dianggap tidak partisipatif ditambah materi muatan yang dianggap merugikan masyarakat karena proses pembuatanya dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.
Dalam diskusi yang dihadiri lebih dari seratus peserta ini, Fitri sebagai pembicara pertama menyatakan terdapat banyak kekeliruan yang dilakukan pemerintah mulai dari teknik penyusunan sampai substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Omnibus Cipta Kerja. Metode Omnibus tidaklah sama dengan Metode kodifikasi yang biasa digunakan di Indonesia, metode ini merupakan metode modifikasi. Fitri mengharapkan modifikasi penyusunan RUU dengan metode ini, jangan sampai merusak sistem hukum dan perundang-undangan indonesia. Jadi, penyusunannya tetap harus mengacu teknis pembentukan yang diatur dalam UU 12 Tahun 2011.
Hal senada diungkapkan oleh Bayu menurutnya, metode omnibus yang saat ini digunakan dalam RUU Cipta Kerja bukan merupakan contoh awal yang baik untuk dijadikan pedoman dalam pembentukan RUU omnibus yang lainnya. Lebih lanjut Bayu mengatakan seharusnya pemerintah lebih fokus melanjutkan agenda reformasi regulasi di periode pertama, seperti yang disebutkan oleh Jokowi dalam sesi debat Calon Presiden 2019-2024 dulu, yang akan membentuk Pusat Legislasi Nasional. Jadi, solusi hiperregulasi dan disharmoni/tumpang-tindih regulasi bukan Omnibus tetapi ketiadaan lembaga yang khusus menangani permasalahan peraturan perundang-Undangan di Indonesia.
Adapun Peneliti PSHK Fajri menyatakan RUU Cipta Kerja kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan. Fajri juga menyoroti proses pembentukan RUU Omnibus Cipta Kerja yang penyusunannya dilakukan secara tertutup sehingga mengabaikan aspek pembentukan peraturan yang harus transparan dan partisipatif. Fajri juga menyampaikan bahwa PSHK mendesak Presiden menunda pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja dengan menarik Surat Presiden (Supres), RUU, dan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja.
Download presentasi Narasumber:
1. PSHK_Metode Omnibuslaw
2. PSHK_RUU Cipta Kerja dalam Proses[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]
Untuk menyaksikan diskusi lebih lengkap, simak videonya di bawah ini: