Saat ini, Indonesia tengah menghadapi momentum bonus demografi di mana jumlah penduduk usia produktif diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2045. Namun, di balik potensi besar ini terdapat ancaman yang mengintai terkait kesenjangan akses terhadap jaminan sosial, terutama jaminan pensiun, bagi pekerja di sektor informal. Hal ini terjadi karena regulasi yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), belum memberikan akses jaminan pensiun kepada Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) untuk mengikuti program jaminan pensiun.
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda pengaturan jaminan pensiun belum cukup memberikan perlindungan pada pekerja mandiri, pengaturan yang ada masih berorientasi pada hubungan kerja dan pemberi kerja, sehingga konstruksi pengaturannya ditujukan kepada pekerja penerima upah. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk memperluas pengaturan jaminan pensiun dengan memasukkan PBPU sebagai peserta jaminan pensiun. “Selanjutnya, perlu menentukan instrumen hukum yang paling tepat sebagai dasar hukum pembentukan dan pengaturan yang kuat bagi jaminan pensiun untuk PBPU,” ungkap Violla.
Hal tersebut disampaikan dalam diseminasi hasil kajian “Urgensi Jaminan Pensiun Bagi Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)” yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bekerja sama dengan Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia dan The PRAKARSA pada Kamis (7/11/2024) di Jakarta.
PSHK, yang menjadi mitra dalam penelitian tersebut, menemukan bahwa sejatinya kepesertaan PBPU dalam program jaminan sosial sudah diakui dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial. Namun, dari segi hukum, pengaturan tersebut masih memiliki beberapa kelemahan seperti Perpres ini merupakan delegasi dari UU SJSN dan UU BPJS dengan materi pendelegasian tentang penahapan kepesertaan, tidak ada pengaturan teknis atau operasional terkait dengan penyelenggaraan jaminan pensiun bagi pekerja bukan penerima upah, dan program jaminan pensiun bagi PBPU dalam Perpres bersifat opsional.
Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Violla ada beberapa pilihan pengaturan jaminan pensiun bagi PBPU, yaitu dengan melakukan revisi UU SJSN, revisi PP Jaminan Pensiun, pembentukan PP tentang Jaminan Pensiun bagi PBPU, revisi Perpres Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial, atau pembentukan Peraturan Presiden tentang Jaminan Pensiun bagi PBPU.
Violla menambahkan bahwa pemerintahan baru dapat dijadikan momentum untuk memasukkan revisi UU SJSN dan UU BPJS dalam Prolegnas 2024-2029, sehingga negara dapat memberikan jaminan sosial bagi seluruh masyarakat terlepas apa pun pekerjaannya dan memperbarui kerangka jaminan sosial yang lebih relevan dengan tantangan sosial ekonomi terkini. Lewat revisi UU SJSN dan UU BPJS, pemberian jaminan sosial bagi PBPU dapat dilakukan secara holistik dan harmonis.