Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berkolaborasi dengan 10 komunitas orang muda menyelenggarakan Forum Multipihak dengan tajuk, “Menjawab Partisipasi Orang Muda dalam Pemerintahan Baru” pada Kamis (27/2/2025) di Ke:Kini Ruang Bersama. Forum ini menjadi ruang dialog antara generasi muda dengan penyelenggara negara dalam upaya memperkuat demokrasi, melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), dan merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih baik.
Forum ini menghadirkan sepuluh komunitas yang tergabung dalam Program PRINSIP Indonesia (Memperkuat Perlindungan Ruang Sipil & Peran Masyarakat Sipil dalam Kepemimpinan Indonesia Baru). Komunitas yang tergabung di antaranya Blok Politik Pelajar, Lab Demokrasi, Social Justice Indonesia, Yayasan Rumah Jahe, Indonesia Education Watch, Lingkar Studi Feminis, Pojok Literasi Bogor, Pemoeda, Bekasi Ambil Peran, dan Rumah Tunanetra Indonesia.
Diskusi dimulai dengan sesi pertama yang bertajuk, “Penguatan Praktik Berdemokrasi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia”. Hilarius Bryan dari Lab Demokrasi, mengungkapkan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran dan yang berlangsung saat ini hanya bersifat prosedural tanpa substansi yang kuat. Senada dengan hal tersebut, I Gede Oka Kertiyasa dari Social Justice Indonesia, menyoroti tindakan represif aparat terhadap aksi demonstrasi “Indonesia Gelap” yang merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Selain itu, kritik terhadap pemerintah di media sosial juga sering kali direspons dengan serangan dari buzzer yang bertujuan mengintimidasi. Menurutnya, kebebasan berpendapat harus dilindungi, baik dalam ruang fisik maupun digital.
Analis Hukum Ahli Pertama di Kementerian Hukum Pramoedya yang hadir sebagai penanggap menilai kebebasan berpendapat di Indonesia sudah mengalami kemajuan dan diperkirakan akan terus berkembang ke arah yang lebih baik. Pramoedya juga menyinggung tentang pendirian badan hukum partai politik, fenomena sentralisasi elit di dalam partai, serta pengelolaan dana kampanye dalam pemilihan kepala daerah dan pemilu yang diawasi oleh Kementerian Dalam Negeri.
Sementara itu, Sekretaris Tim Pelanggaran HAM Berat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Eko Dahana menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi masih menghadapi tantangan, baik dalam dunia nyata maupun dunia maya. Meskipun prosedur dan kebijakan telah disiapkan, negara tampaknya enggan berhadapan langsung dengan masyarakat dalam menangani persoalan demokrasi dan HAM. Oleh karena itu, regulasi yang lebih baik perlu terus disusun agar kebebasan berpendapat dapat terlindungi secara maksimal.
Eko juga menyebut bahwa Komnas HAM telah memiliki standar norma dan pengaturan sejak 2020 untuk menjamin hak sipil, dengan keamanan nasional sebagai prioritas utama. Eko menegaskan bahwa Komnas HAM akan tetap berperan sebagai pengawas serta turun tangan jika terjadi pembungkaman dan tindakan represif terhadap mereka yang menyuarakan pendapatnya.
Sesi kedua dilanjut dengan pembahasan bertajuk “Reformasi untuk Pendidikan yang Inklusif, Aksesibel, dan Berkeadilan”. Sahil dari Indonesia Education Watch mengungkapkan bahwa guru honorer merupakan salah satu pilar penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Meskipun kontribusinya besar, realitas menunjukkan bahwa kesejahteraan guru honorer masih jauh dari layak. Rendahnya gaji, penundaan pembayaran gaji, dan pemecatan guru honorer ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan guru honorer, tetapi juga mempengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan kepada siswa. Untuk mewujudkan visi pendidikan Indonesia yang berkeadilan dan berkualitas, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer.
Merespons hal tersebut, Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa, menyampaikan bahwa tantangan di isu pendidikan sangatlah kompleks, terutama dalam aspek biaya pendidikan. Dari total anggaran pendidikan sebesar Rp650 triliun, sekitar Rp350 triliun dialokasikan untuk transfer ke daerah melalui dana alokasi umum. Namun, penggunaan anggaran tersebut sering kali tidak tepat sasaran. Anggaran lebih banyak digunakan untuk perbaikan infrastruktur daripada perbaikan kualitas pendidikan itu sendiri.
Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Biyanto, juga menekankan bahwa partisipasi orang muda sangat dibutuhkan untuk keberlanjutan kebijakan di bidang pendidikan. Menurutnya, audiensi langsung dengan masyarakat dapat membantu pemerintah dalam memahami dan menerima masukan lebih lanjut mengenai kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Program PRINSIP Indonesia diinisiasi oleh Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) yang terdiri dari PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Imparsial, LBH Jakarta, dan YAPPIKA. Program ini ditujukan untuk berkontribusi dalam upaya memperkuat masyarakat sipil, serta mendorong ruang gerak masyarakat sipil (civic space) yang aman dan berkembang bagi aktivisme kelompok masyarakat sipil—terutama kelompok orang muda—khususnya dalam menyambut periode kepemimpinan Indonesia baru pasca-Pemilihan Umum Tahun 2024.