Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali melakukan pemilihan hakim konstitusi tanpa transparansi dan partisipasi publik. Pada Rabu, 20 Agustus 2025, DPR melakukan fit and proper test terhadap calon tunggal hakim konstitusi dan langsung menyetujui calon yang bersangkutan sebagai hakim konstitusi. Calon terpilih adalah Ketua Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR Inosentius Samsul, yang akan menggantikan Prof. Arief Hidayat yang akan purnatugas pada 3 Februari 2026.
Proses pemilihan tersebut tidak transparan dan partisipatif dan kembali menempatkan calon hakim konstitusi sebagai bidak perpanjangan tangan DPR di MK. Komposisi demikian akan mengurangi efektivitas MK dalam menjalankan fungsi checks and balances terhadap DPR, terutama dalam menjalankan kewenangan pengujian undang-undang yang dewasa ini memiliki kecenderungan autocratic legalism untuk melayani kepentingan penguasa dan otoritarianisme.
Proses pemilihan oleh DPR tidak sesuai dengan tata cara pemilihan hakim konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (“UU Mahkamah Konstitusi”) dengan alasan sebagai berikut:
1. Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi menghendaki bahwa pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif agar masyarakat dapat turut serta memberikan masukan dan catatan terhadap calon kandidat. Pada faktanya, tidak terdapat pengumuman yang cukup untuk menjaring pendaftaran calon kandidat hakim konstitusi. Menelisik proses fit and proper test, DPR dengan sengaja menghadirkan calon tunggal, yang juga merupakan bagian dari Sekretariat Jenderal DPR, untuk menginfiltrasi MK agar dapat menjaga kepentingan partisan politik DPR;
2. Pasal 20 UU Mahkamah Konstitusi juga mengatur bahwa proses seleksi dilakukan secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka oleh masing-masing lembaga negara. Proses seleksi hakim konstitusi di DPR kali ini tak satupun mencerminkan prinsip-prinsip tersebut. Terlebih, calon hakim konstitusi Inosentius Samsul berlatar belakang sebagai bagian dari Sekretariat Jenderal DPR dan menjalani proses fit and proper test yang dilakukan secara langsung oleh Komisi III DPR tanpa melalui panitia seleksi independen, sehingga kental dengan conflict of interest. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membuka seluas-luasnya pendaftaran dan membuka partisipasi publik dalam proses penilaian calon menjadi penting untuk menjadikan proses lebih objektif dan akuntabel.
Proses seleksi merupakan ujung tombak untuk menghasilkan hakim konstitusi negarawan yang bekerja secara profesional dan berintegritas untuk kepentingan pelindungan konstitusi dan pelindungan hak konstitusional warga negara, bukan kepentingan lembaga pengusung. Kandidat hakim konstitusi pun juga memiliki masa jabatan yang cukup panjang, yaitu maksimal 15 (lima belas) tahun atau sampai usia pensiun, yaitu usia 70 (tujuh puluh) tahun. Oleh karena itu, proses seleksi harus diselenggarakan secara ketat dan serius, serta mematuhi prinsip-prinsip transparan, partisipatif, objektif, akuntabel, dan terbuka, bukan sekehendak lembaga pengusung.
Atas dasar tersebut, PSHK Indonesia mendesak sebagai berikut:
- DPR membatalkan pengusulan calon hakim konstitusi terpilih dan mengulang seluruh proses mulai dari proses pendaftaran secara terbuka, transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel;
- Presiden untuk tidak menetapkan Inosentius Samsul sebagai hakim konstitusi pengganti Prof. Arief Hidayat, dan mendorong DPR untuk mengulang proses seleksi calon hakim konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 19 dan 20 UU Mahkamah Konstitusi.