Ada dua undang-undang penting dan menarik yang baru saja disahkan pada 11 Juli 2006 lalu: RUU Kewarganegaraan dan RUU Pemerintahan Aceh. Keduanya dipandang “revolusioner”. RUU Kewarganegaraan memberikan paradigma baru dalam masalah kewarganegaraan.
Sementara RUU Pemerintahan Aceh memberikan cara berpikir “baru” mengenai konsep otonomi daerah. Namun yang luput dari pembahasan adalah mempersandingkan keduanya dari segi proses. Yang satu terbuka, dan yang lainnya tertutup.
RUU Pemerintahan Aceh mengundang polemik ketika beberapa elemen masyarakat sipil mempersoalkan rapat Panitia Kerja (Panja) yang tertutup. Rapat Panja penting karena di dalam rapat panitia kecil di bawah Komisi atau Panitia Khusus inilah keputusan penting diambil. Alasan para legislator, Tata Tertib DPR menyatakan bahwa rapat Panja pada dasarnya bersifat tertutup kecuali dinyatakan terbuka (Pasal 95 ayat (2)).
Maka RUU Pemerintahan Aceh pun dibahas secara tertutup. Lantas, seperti dituturkan olehSerambi Indonesia (17/07/06), sebuah harian di Aceh, tim advokasi DPRD Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pemangku kepentingan RUU ini menyiasatinya dengan mendengarkan “siaran langsung” melalui telepon genggam. Sebuah cerita yang sangat ironis bila dibandingkan dengan pembahasan RUU Kewarganegaraan.
Rapat Panja RUU Kewarganegaraan dinyatakan terbuka oleh anggotanya sendiri. Semua orang yang mau, hadir, mengikuti, dan berdiskusi dengan anggota Panja secara terbuka. Apakah ini pelanggaran Tata Tertib? Tentu saja tidak, karena Tata Tertib menyatakan, sepanjang disepakati oleh anggotanya, rapat Panja bisa dinyatakan terbuka. Di sinilah kita bisa melihat perbedaan cara pandang di kalangan anggota DPR dan berat-ringannya nilai politis suatu RUU.
Perlu dicatat, kutipan Tata Tertib DPR di atas sesungguhnya mengandung logika demokrasi yang terbalik. Secara prinsip, semua rapat harus dibuat transparan, kecuali bila para anggota memutuskan tertutup. Keputusan inipun harus diumumkan kepada publik, lengkap dengan alasannya. Di situlah kita bisa mengukur bagaimana kualitas representasi wakil rakyat. Namun rapat terbuka hanya salah satu unsur dalam proses legislasi. Ada dua isu besar dalam proses legislasi, yaitu soal akses informasi dan mekanisme partisipasi.
Akses Terbatas
Mekanisme kerja yang tidak “bersahabat” juga menjadi hambatan bagi pemangku kepentingan untuk berpartisipasi. Harus diakui, tidak sulit bagi elemen-elemen masyarakat sipil di Jakartauntuk berpartisipasi, termasuk bagi lembaga tempat penulis bekerja. Apalagi untuk lembaga-lembaga yang mempunyai banyak “kenalan” di DPR, seperti yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dari Aceh dalam cerita di atas. Tetapi harus diingat, partisipasi yang sejati (genuine) mensyaratkan tersedianya ruang yang cukup bagi semua orang, tanpa ada diskriminasi, ataupun pengistimewaan. Meski bisa saja dibatasi dengan mekanisme dan kriteria tertentu agar sistemnya bisa berjalan.
Namun masalahnya, bagaimana caranya sebagian besar anggota masyarakat yang ingin berpartisipasi bila jadwal rapat saja sulit untuk diketahui? Bagaimana misalnya masyarakat adat dari luar Jakarta ingin meminta didengar dalam pembahasan suatu RUU yang menyangkut kepentingan mereka bila mereka bahkan tidak tahu kapan RUU itu dibahas? Belum lagi bila rapat dipindah ke hotel, yang tentu tidak ramah terhadap tamu dari kalangan tertentu dan tidak mudah dijangkau.
Akses dokumen juga sangat terbatas. Tidak mudah mendapatkan naskah rancangan undang-undang yang mutakhir sesuai proses pembahasan. Juga notulensi pembahasan dan dokumen lainnya. Mencari dokumen di DPR seperti memasuki hutan rimba. Pencari jalan sangat mudah tersesat dan kebingungan. Yang tersedia lagi-lagi adalah mekanisme informal. Tergantung kedekatan kita pada anggota, staf fraksi, atau staf Sekretariat Jenderal.
Sempitnya Ruang Partisipasi
Soal lainnya adalah ruang partisipasi yang sangat sempit. Dalam Tata tertib DPR, partisipasi masyarakat diatur dalam bab tersendiri. Partisipasi, menurut pasal-pasal ini, dilakukan melalui penyampaian masukan secara tertulis dan lisan. Masukan tertulis disampaikan kepada Pimpinan DPR yang akan meneruskannya kepada komisi atau panitia terkait. Sedangkan masukan lisan disampaikan dalam tatap muka, baik melalui forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) maupun forum lainnya. Masukan-masukan ini akan dijadikan bahan masukan dalam pembahasan undang-undang.
Namun kenyataan di lapangan tidak sebagus teks yang tertuang. Organisasi-organisasi atau tokoh-tokoh politik terkenal dapat dengan mudah mengirimkan masukan tertulis yang akan dibahas dalam pembahasan. Apalagi bila ditambah dengan konferensi pers. Namun, apakah surat dari sebuah organisasi petani kecil di luar Jakarta misalnya, bisa mendapatkan perhatian serupa?
Ruang formal yang tersedia bagi masyarakat sipil dalam proses legislasi adalah RDPU, di luar forum-forum lobby dengan pimpinan fraksi, komisi, atau panitia. Tetapi sudah tepatkah penentuan undangan RDPU? DPR memang sudah memiliki data pemangku kepentingan yang semestinya dapat digunakan untuk kepentingan RDPU. Apakah data ini mencakup pemangku kepentingan di daerah dan RDPU dilaksanakan secara maksimal, itu soal lainnya. Begitu pula, tindak lanjut dari RDPU merupakan sebuah pertanyaan yang tak terjawab. Tidak ada mekanisme yang jelas mengenai tindak lanjut apa yang harus dilakukan dari sekian banyak masukan yang diterima oleh DPR. Ditambah lagi, pembahasan selanjutnya dilakukan secara tertutup.
Kawula dan kaum elite memang tidak pernah akan bisa mendapatkan kesempatan “berkompetisi” yang sama dalam proses legislasi. Pada saat ruang-ruang partisipasi dibuka pun, jaringan elite akan lebih mudah berkompetisi untuk merebut teks. Melihat kaum elite dan kawula, seperti melihat jalan tol dan jalan tak beraspal. Tentu saja, jejaring elite politik bisa mendapatkan akses yang luas. Tanpa perlu konferensi pers, tanpa perlu unjuk rasa. Tidak demikian halnya dengan kawula. Untuk bisa didengar saja, tekanan dari luar mesti diberikan. Bagi kaum elite bermodal, tak sulit untuk memberikan fasilitas untuk membahas legislasi secara nyaman. Kaum kawula hanya bisa memberikan fotokopian hasil penelitian.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mengatasi persoalan-persoalan ini. Perubahan Tata Tertib yang terkait dengan mekanisme partisipasi dan transparansi harus dijadikan agenda penting. Demikian pula dengan perubahan di dalam organisasi pendukung kerja di DPR agar lebih berorientasi pada pelayanan publik ketimbang menjalankan tugas birokrasi. Yang jelas, mekanisme konkritnya harus memperhatikan aspek “kesetaraan”. Yang ingin berpartisipasi dan harus didengar dalam proses legislasi bukan hanya elite politik, tetapi siapa saja yang berkepentingan.
Proses legislasi, tentu saja bagaimanapun adalah sebuah proses politik. Tidak semua usulan dapat diterima. Namun justru karena ia adalah proses politik, mestinya ruangnya dibuka lebar dan transparan, agar ia berproses dengan pagar tertentu. Ada ruang-ruang untuk pengawasan etika politik dan pelaksanaan (meminjam istilah Daniel Dhakidae) “kuasa wicara” rakyat kepada para wakilnya. Pengawasan ini sungguh berarti untuk pendidikan politik, serta untuk menilai siapa yang layak dipilih dalam Pemilu berikutnya.
Bivitri Susanti