Negosiasi dengan PT Freeport Indonesia terkait dengan penyesuaian kontrak karya Freeport tahun 1991 dengan Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) tahun 2009 memasuki babak baru.
Setelah lebih kurang tujuh tahun pemerintah berusaha melakukan renegosiasi dengan Freeport, akhirnya negosiasi mengalami kebuntuan yang ditunjukkan dengan konferensi pers Freeport baru-baru ini. Pada 2010, pemerintah mulai melakukan renegosiasi dengan beberapa perusahaan tambang sebagai bagian dari menjalankan amanat Pasal 169 UU Minerba. Terhadap Freeport, hal ini baru terlaksana dengan disepakatinya nota kesepahaman (MOU) renegosiasi amandemen KK pada 2014. MOU itu menyepakati ruang lingkup negosiasi, seperti penurunan luas wilayah kerja, ketentuan divestasi, aturan perpajakan, dan perubahan bentuk hubungan hukum dari rezim kontrak menjadi rezim izin (Sukhyar, 2015).
Kebuntuan negosiasi yang timbul antara pemerintah dan Freeport mencakup banyak lapisan dimensi hukum KK tahun 1991 (KK 1991) vis a vis UU Minerba 2009. Saat ini, baik Freeport maupun pemerintah belum memberikan penjelasan yang jelas terkait pelanggaran KK 1991 yang akan dijadikan dasar bagi Freeport untuk membawa persoalan ini ke arbitrase.
Saya berspekulasi—berdasarkan bacaan terhadap kontrak dan dinamika yang ada—Freeport setidaknya akan mengajukan dua klaim terkait dengan pelanggaran kontrak. Pertama, terkait permintaan perpanjangan kontrak Freeport berdasarkan ketentuan Pasal 31 Ayat 2 KK 1991 yang salah satu poinnya Freeport dapat meminta perpanjangan kontrak kapan pun diminta. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 45 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 yang menggariskan perpanjangan izin usaha baru dapat dilakukan dua tahun sebelum masa kontrak habis dan Pasal 169 Huruf b yang memerintahkan perubahan kontrak karya menjadi rezim izin.
Kedua, terkait kebijakan pengenaan biaya ekspor sebagai bagian dari pelaksanaan Pasal 103 UU Minerba. Hal ini bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (1) KK 1991 yang memberikan hak bagi Freeport untuk memasarkan produknya (ekspor) tanpa ada satu hambatan apa pun yang bersifat keuangan (monetary).
Pada prinsipnya, persoalan ini menyangkut kedaulatan negara (right to regulate) vis a vis klausul stabilisasi (stabilization clause). Klausul stabilisasi adalah klausul pada kontrak investasi jangka panjang yang ditujukan untuk melindungi investasi dan proyeksi keuntungan yang didapat, dari dampak negatif adanya perubahan aturan/kebijakan pemerintah di masa datang. Perkembangan hukum internasional terkait hal ini menunjukkan, kedaulatan negara untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan/aturannya tetap dapat dilakukan selama penerapan perubahan itu terhadap kontrak yang ada dilaksanakan dengan tindakan adil dan layak (fair and equitable treatment/FET).
Kedaulatan negara atas SDA
Pada 31 Oktober 1956, ribuan tentara gabungan Inggris dan Perancis bergerak melakukan invasi ke Mesir. Invasi ini merupakan akumulasi perseteruan antara Mesir dan Inggris-Perancis atas kepemilikan Terusan Suez. Setahun sebelumnya, Presiden Gamal Abdul Nasser melakukan nasionalisasi Terusan Suez yang telah berada di bawah kontrol Inggris-Perancis selama 87 tahun. Krisis Suez bukan merupakan insiden tunggal. Nasionalisasi pada era tersebut merupakan kecenderungan negara-negara baru merdeka yang ingin mengukuhkan kedaulatannya atas sumber daya alam (SDA), seperti Indonesia dengan Tembakau Bremen (1959) dan Nasionalisasi Industri Migas Iran (1951).
Tak jarang respons negara-negara Barat ditunjukkan dengan melakukan aksi agresi militer, seperti dalam kasus Terusan Suez atau intrusi politik, seperti dalam kasus kudeta Mohammad Mossadegh di Iran.Peristiwa-peristiwa ini menyadarkan negara-negara baru tersebut bahwa perlu adanya jaminan hukum internasional akan kedaulatan mereka terhadap SDA yang dimiliki. Kesadaran ini kemudian dituangkan dalam dua dokumen hukum internasional, yakni Resolusi Majelis Umum 1803/1969 tentang Permanent Sovereignty Over Natural ResourcesdanResolusi 3201/1974 tentang Declaration on The Establishment of a New International Economic Order. Kedua dokumen menegaskan kedaulatan terhadap hak negara berdaulat untuk mengontrol SDA-nya bagi kemakmuran rakyatnya.
Prinsip kedaulatan negara tersebut bukan merupakan klaim sepihak, melainkan telah diterima dan ditegaskan dalam beberapa putusan arbitrase. Sebagai contoh, putusan Parkerings v Lithuania (2007) menegaskan, kewenangan negara untuk mengatur merupakan hak dan privilese yang tidak dapat disangkal (undeniable rights and privilege). Meski demikian, penerapan prinsip kedaulatan negara tersebut tidak serta-merta memberikan kewenangan mutlak bagi negara untuk bertindak sewenang-wenang. Pembatasan terhadap prinsip tersebut perlu dilakukan untuk memberikan kepastian dan jaminan bagi investor guna mendapatkan proyeksi keuntungan yang diharapkan dari investasi tersebut di masa depan.
Posisi hukum Internasional terkait ini adalah menyeimbangkan antara jaminan atas keuntungan yang diharapkan (legitimate and reasonable expectations) dan hak negara dalam mengatur untuk kepentingan publik, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa putusan arbitrase {Saluka v the Czech Republic (2006) dan Suez v Argentina (2010)} (Hirsch, 2013).
Standar FET
Salah satu prinsip yang berkembang untuk menyeimbangkan antara kedaulatan negara vis a vis kepastian berusaha adalah dengan mengembangkan standar FET. Pada prinsipnya, standar FET menegaskan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan bagi negara untuk menerapkan kedaulatannya dalam mengatur, yang dapat berdampak pada ketentuan stabilisasi sebuah kontrak. Prinsip tersebut meliputi non-diskriminatif, jaminan atas kepastian proyeksi keuntungan, dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
Prinsip tersebut membatasi tindakan Indonesia dalam memaksa Freeport untuk menyesuaikan dengan UU Minerba. Pertama, prinsip non-diskriminatif mensyaratkan bahwa tindakan Pemerintah Indonesia tidak hanya berlaku pada Freeport semata. Kedua, prinsip jaminan kepastian proyeksi keuntungan investasi mensyaratkan bahwa Indonesia harus menghormati proyeksi keuntungan yang ingin didapat oleh Freeport saat investasi dilakukan. Ketiga, prinsip melaksanakan secara tak sewenang-wenang mensyaratkan bahwa tindakan pemerintah harus dengan proses yang berkeadilan dan layak.
Jika ditilik proses yang terjadi dalam lebih kurang tujuh tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa Indonesia sebenarnya telah melaksanakan standar FET dalam melaksanakan UU Minerba. Pada prinsip non-diskriminatif, pemberlakuan UU Minerba tak hanya diterapkan pada subyek hukum asing semata, tetapi juga pada subyek hukum Indonesia. Pada prinsip kedua, kita bisa melihat bahwa sebenarnya semua kewajiban di dalam UU Minerba sudah tertera di dalam KK 1991 Freeport. Sebagai contoh, kewajiban pemurnian (Pasal 10 Ayat 5 KK 1991) atau kewajiban divestasi (Pasal 24 KK 1991).
Tidak operasionalnya ketentuan-ketentuan ini salah satunya disebabkan klausul stabilisasi, yang justru memberikan posisi yang tidak adil bagi Indonesia, seperti menyatakan bahwa hanya perubahan kebijakan/peraturan pemerintah yang menguntungkan bagi Freeport yang akan diberlakukan jika terjadi perubahan peraturan (Pasal 24 Huruf d KK 1991) di mana pada 1994 terjadi perubahan peraturan terkait dengan kepemilikan asing sehingga kewajiban divestasi menjadi ”gugur”.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pada saat penandatanganan kontrak 1991 sebenarnya Freeport sudah memiliki proyeksi keuntungan, jika kewajiban-kewajiban tersebut harus dilaksanakan sehingga seharusnya kehendak pemerintah memaksakan hal-hal tersebut seharusnya tidak mengganggu proyeksi dari Freeport atas keuntungan yang ingin didapatnya.
Fakta lain yang dapat mendukung Indonesia adalah bahwa Freeport sudah beroperasi selama hampir 25 tahun (di bawah kontrak 1991) tanpa adanya perubahan kebijakan subtantif. Hal ini juga variabel penting untuk menguatkan posisi Indonesia. Hal ini dikarenakan perubahan UU Minerba Indonesia tak terjadi dalam waktu singkat sehingga berpotensi memberikan efek roller coaster dan mengganggu proyeksi keuntungan perusahaan Freeport (PSEG v Turkey, 2007).
Terakhir, pada prinsip melaksanakan tindakan sewenang-wenang, proses negosiasi yang telah berjalan lebih kurang tujuh tahun menunjukkan pemerintah sebenarnya telah melakukan proses tersebut secara layak. Bahkan, selama proses itu pemerintah telah memberikan keistimewaan tertentu kepada Freeport dibandingkan dengan perusahaan multinasional lain, bahkan terhadap perusahaan dalam negeri Indonesia sekalipun.
Keputusan untuk menerima tantangan arbitrase Freeport merupakan langkah yang tepat, jika proses perundingan selama 120 hari tidak berjalan. Sikap tunduk terhadap ancaman Freeport, misalnya dengan melakukan revisi UU Minerba, bukan merupakan pilihan. Meski demikian, maju ke proses arbitrase memerlukan persiapan yang matang dengan mengeksplorasi berbagai skenario dan argumentasi hukum. Perlu diingat, jika pun Indonesia memiliki posisi yang kuat, tetapi secara umum kecenderungan putusan arbitrase menunjukkan adanya tafsir yang lebih sempit terhadap FET, yang melindungi stabilitas investor asing (Johnson & Volkov, 2013). Oleh karena itu, opsi penyelesaian secara damai melalui negosiasi tetap harus dilaksanakan, tetapi tanpa mengorbankan kedudukan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
GIRI AHMAD TAUFIK, PENELITI PUSAT STUDI HUKUM DAN KEBIJAKAN INDONESIA/PENGAJAR STIH JENTERA SERTA MAHASISWA PHD GRIFFITH UNIVERSITY, AUSTRALIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul “Freeport dan Posisi Hukum RI”.
============================================================================
Sumber : Surat Kabar Harian Kompas
Terbit pada : Senin, 20 Maret 2017