Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5 diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, di Batusangkar, Sumatera Barat, pada 9-11 November 2018. KNHTN-5 ini mengangkat tema tentang “Tantangan Menjaga Kedaulatan Rakyat dalam Pemilihan Umum”.
Dalam pelaksanaan KNHTN-5 yang diselenggarakan di Batusangkar tersebut, turut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Antoni Putra. Antoni hadir sebagai peserta call for paper dengan makalahnya yang berjudul ” Kewenangan Badan Pengawas Pemilu dalam Menyelesaikan Sengketa Pelarangan Mantan Terpidana Korupsu Menjadi Calon Legislatif”.
Di dalam presentasi makalahnya, terdapat tiga hal penting yang disampaikan Antoni di dalam konfrensi tersebut. Pertama, terkait dengan fakta hukum dari putuasan bawaslu yang membatalkan keputusan KPU mencoret mantan terpidana korupsi dari daftar calon legislatif. Menurutnya, putusan Bawaslu tersebut cacat secara hukum karena meniadakan PKPU sebagai peraturan perundang-undangan yang harus dipatuhi. Dalam hal ini, Bawaslu sudah bertindak diluar kewenangannya karena bertindak selayaknya Mahakamah Agung yang memiliki kewenangan membatalkan norma hukum yang kedudukannya berada di bawah undang-undang.
Kedua, putusan bawaslu tersebut mengabaikan fakta sosial, yakni fakta korupsi yang tumbuh subur di Indonesia. Banyaknya anggota legislatif yang tertangkap korupsi sama sekali tidak menjadi pertimbangan, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa.
Ketiga, pada mekanisme koreksi putusan yang terdapat di dalam putusan peraturan Bawaslu No. 18 Tahun 2018 juga dapat dinilai cacat hukum. Pasalnya, mekanisme koreksi tersebut hanya dapat dilakukan oleh pemohon, dalam kasus ini adalah mantan terpidana korupsi yang menggugat KPU. Sementara untuk KPU sebagai tergugat sama sekali tidak diberi ruang untuk mengajukan koreksi putusan. Dari ketentuan ini, Bawaslu terkesan tidak memberikan ruang untuk KPU melakukan pembelaan atau upaya hukum lanjutan untuk mempertahankan keputusannya. Seharusnya, dalam perkara ini penggugat dan tergugat memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan upaya hukum atas putusan Bawaslu.
Di dalam pemaparannya, Antoni mengungkapkan bahwa Bawaslu dalam memutus permohonan sengketa pemilu seharusnya lebih memperhatikan fakta hukum dan fakta sosial yang ada dalam masyarakat. Bawaslu dalam menjalankan kewenangannya terikat pada peraturan perundang-undangan. Artinya, bukan hanya undang-undang yang harus dipatuhi, tetapi juga peraturan perundang-undangan yang secara hierarki berada di bawah undang-undang. Dan terhadap mekanisme koreksi putusan Bawaslu, seharusnya yang boleh menjadi pemohon koreksi bukan hanya pemohon, melainkan juga pihak yang menjadi termohon dalam perkara tersebut. Kemudian, waktu untuk mengajukan koreksi putusan tidak hanya sehari setelah putusan Bawaslu dan Panwaslu dibacakan. (AP)