Setelah 30 hari disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya sah berlaku berdasarkan konstitusi. Harapan masyarakat agar presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk menganulir undang-undang itu pun semakin tipis.
Harapan satu-satunya untuk mengubahnya berada pada proses pengujian undang-undang (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK). Lantas, ketentuan mana dari undang-undang itu yang bertentangan dengan konstitusi? Tidak mudah untuk menjawabnya.
Sebagian mungkin berpendapat bahwa undang-undang tersebut memiliki cacat prosedur karena dibentuk dengan menyalahi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Walaupun mengakui adanya pengujian undang-undang yang bersifat prosedural, MK belum pernah membatalkan sebuah undang-undang karena cacat prosedur semata.
Sementara itu, pada pengujian undang-undang material, terdapat persoalan yang terkait dengan identifikasi ketentuan konstitusi yang dapat digunakan menjadi batu uji untuk menguji undang-undang ini, mengingat tidak ada norma konstitusi yang mengatur secara eksplisit keberadaan KPK ataupun antikorupsi.
Namun ketiadaan norma konstitusional yang mengatur KPK tidak menjadikan konstitusi kita menjadi steril terhadap komitmen antikorupsi dan KPK. Melalui penafsiran konstitusi pada 2006, MK telah menjadikan KPK dan antikorupsi sebagai prinsip konstitusi penting yang keberadaan dan independensinya dilindungi oleh UUD 1945.
Salah satu alasan pokok MK adalah peran KPK dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Bagi MK, KPK dan independensinya memiliki peran penting agar negara dapat mencapai salah satu tujuannya, yakni kesejahteraan umum. Banyak kajian telah mengungkapkan bahwa korupsi merupakan salah satu faktor utama dari terampasnya kesejahteraan umum. Korupsi menyebabkan penyimpangan alokasi sumber daya yang sejatinya untuk kesejahteraan umum.
Bagi MK, independensi KPK merupakan penegasan agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK untuk melakukan penindakan. Hal ini menjadi penting karena pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki dan dituntut oleh KPK adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara yang memiliki kekuasaan yang dapat mengganggu proses hukum.
Selain itu, salah satu konsideran Undang-Undang Perubahan KPK menyebutkan bahwa undang-undang lama tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan dan perkembangan hukum. Tampaknya, konsideran ini merujuk pada putusan MK mengenai hak angket DPR yang menyebutkan KPK sebagai bagian dari cabang kekuasaan eksekutif.
Jika Undang-Undang Perubahan KPK lahir dari pemahaman atas putusan MK mengenai hak angket, terdapat kekeliruan mendasar terhadap esensi putusan tersebut. Pertama, MK sebenarnya membatasi putusannya hanya untuk memberikan justifikasi kewenangan DPR guna melaksanakan hak angket kepada KPK. Menjadikan putusan ini sebagai dasar untuk mengubah Undang-Undang KPK akan melampaui maksud dan tujuan dari putusan MK tersebut.
Kedua, walaupun putusan MK ini menjadikan KPK sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, secara eksplisit ditegaskan mengenai pengecualian kewenangan hak angket DPR terhadap hal-hal yang terkait dengan tugas yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan). Karena itu, jika pun pemerintah dan DPR memutuskan untuk mengubah desain kelembagaan KPK berdasarkan putusan MK, pembuat undang-undang mutlak tidak dapat menyentuh aspek independensi KPK dalam tugas yudisialnya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa Undang-Undang Perubahan KPK telah menghilangkan banyak aspek dari independensi KPK, terutama terkait dengan tugas yudisialnya. Padahal independensi itu merupakan aspek terpenting yang menjadikan KPK sebagai institusi tersukses dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hilangnya independensi KPK setidaknya dapat dilihat pada tiga aspek pengaturan. Pertama, menjadikan pegawai KPK sebagai aparat sipil negara, yang berpotensi mendudukkan penyidik KPK sebagai bagian dari penyidik pegawai negeri sipil di bawah koordinasi kepolisian.
Kedua, terancamnya integritas pegawai KPK karena struktur dan sistem Indonesia saat ini belum kondusif mendukung profesionalitas dan independensi. Padahal, menurut penelitian Sofie Arjon Schutee (2015), pemisahan pegawai KPK dari struktur aparat sipil negara pada umumnya merupakan salah satu faktor suksesnya pegawai negeri melakukan “sapu bersih” dalam memberantas korupsi. Ketiga, berpotensi menundukkan penuntutan KPK kepada koordinasi Kejaksaan Agung.
Hilangnya independensi KPK dalam Undang-Undang Perubahan KPK bertentangan dengan independensi KPK sebagai prinsip konstitusi penting oleh MK. Undang-undang itu jelas bertentangan dengan yurisprudensi yang digariskan oleh MK dan melampaui apa yang dimaksud dalam putusan MK mengenai hak angket. Maka, cukup alasan bagi MK untuk memutuskan bahwa Undang-Undang Perubahan KPK bertentangan dengan konstitusi atau paling tidak MK dapat mengoreksi agar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini bisa selaras dengan prinsip konstitusi dari KPK dan independensinya.
Artikel ini telah tayang di tempo.co dengan judul Inkonstitusionalitas Undang-Undang KPK,
https://kolom.tempo.co/read/1264159/inkonstitusionalitas-undang-undang-kpk
Penulis: Giri Ahmad Taufik
Foto: Tempo.co