Deregulasi atau pembentukan omnibus law yang tengah disiapkan saat ini tanpa ada langkah kongkrit membentuk badan khusus legislasi akan menjadi sia-sia. Keluhan, kritik dan respons Jokowi atas persoalan peraturan perundang-undangan yang disuarakan pada akhirnya hanya lips service semata.
Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, salah satunya mengamanatkan pembentukan lembaga/badan yang mengurusi pembentukan/penyusunan peraturan perundang-undangan di internal pemerintahan baik pusat maupun daerah. Namun, hingga kini pembentukan badan legislasi pemerintahan ini belum terwujud.
Padahal, pembentukan lembaga ini pernah digadang-gadang Presiden Joko Widodo saat kampanye Pilpres 2019 lalu. Pembentukan badan pusat regulasi di internal pemerintahan untuk mewujudkan manajemen penataan peraturan perundang-undangan di Indonesia agar menjadi lebih baik.
“Jokowi pernah menjanjikan pembentukan badan khusus regulasi pada saat kampanye sebagai calon presiden,” ujar Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Muhammad Nur Sholikin kepada hukumonline di Jakarta, Rabu (28/1/2020).
Dia mengakui Jokowi tengah fokus pada gagasannya pembentukan omnibus law. Namun, tak jarang pula Presiden mengeluhkan regulasi yang tumpang tindih di tingkat pusat maupun daerah. “Perlu langkah berani dan komitmen Jokowi dalam mewujudkan reformasi regulasi di Indonesia sebagaimana janjinya waktu kampanye,” kata Sholikin mengingatkan.
Padahal, masyarakat berharap besar dengan ide pembentukan badan khusus regulasi di internal pemerintahan dalam rangka perencanaan, penyiapan naskah peraturan, harmonisasi, monitoring, evaluasi. “Fungsi ini harus dijalankan badan khusus manajemen regulasi, bukan lagi berada di struktur Kemenkumham (Ditjen Peraturan Perundang-undangan/BPHN) yang secara kelembagaan juga mengurusi bidang lain.”
Ditegaskan Sholikin, keberadaan badan khusus regulasi ini amat diperlukan untuk mengatasi atau menghapus beragam tumpang tindih dan tidak terintegrasinya fungsi-fungsi manajemen penyusunan peraturan di pemerintahan. Misalnya, beberapa fungsi manajemen penyusunan peraturan tersebar di unit kerja eselon I atau eselon II di Kemenkumham, Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan Kementerian Dalam Negeri.
“Tanpa perbaikan kelembagaan secara menyeluruh permasalahan penyusunan regulasi termasuk omnibus law akan terus berulang. Karena itu, Jokowi perlu segera melakukan langkah kongkrit untuk merealisasikan pembentukan badan khusus ini,” pintanya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi mengakui Jokowi pernah memberi harapan soal pembentukan pusat legislasi nasional atau badan khusus legislasi yang membidangi sektor legislasi di level eksekutif. Kemudian, pembentukan lembaga ini dimasukan dalam UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.
“UU 15/2019 itu terdapat nomenklatur lembaga dengan penyebutan ‘lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan’,” ujarnya.
Menurut Ferdian, semestinya keberadaan lembaga ini muncul bersamaan saat penyusunan Kabinet Indonesia Maju dengan mempertimbangkan agenda penyusunan Prolegnas 2019-2024 atau Prolegnas Prioritas 2020. Apalagi, di pemerintahan periode kedua Jokowi ini memperkenalkan bentuk penyusunan peraturan yang berkarakter omnibus law yang dibutuhkan lembaga yang fokus membahas dan menjelaskan ke publik.
“Semestinya secara definitif lembaga tersebut telah terbentuk mengingat urgensi dan signifikansinya saat ini,” kata Ferdian.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini menilai gagasan reformasi legislasi yang selalu didengungkan oleh Jokowi semakin tidak terkonfirmasi dengan belum lahirnya badan khusus regulasi tersebut. Padahal janji muluk Presiden Jokowi kala kampanye sempat membius banyak kalangan.
Sebelumnya, dalam acara Penyampaian Laporan Tahunan MK Tahun 2019, Presiden Jokowi mengakui Indonesia mengalami obesitas regulasi yang akhirnya mencegah pemerintah bertindak cepat dalam merespon perubahan dunia. “Kita mengalami hyper regulasi, obesitas regulasi, membuat kita terjerat dalam aturan yang kita buat sendiri, terjebak dalam kompleksitas,” kata Presiden di Gedung MK, Senin (28/1/2020) kemarin.
Presiden mencatat hingga saat ini terdapat 8.451 peraturan pemerintah pusat dan 15.985 peraturan di daerah. “Ada PP (Peraturan Pemerintah), perpres (peraturan presiden), permen (peraturan menteri), perdirjen (peraturan direktur jenderal), sampai perda (peraturan daerah) harus kita sederhanakan, sehingga kita memiliki kecepatan dalam memutuskan dan bertindak dalam merespon perubahan dunia yang begitu cepatnya.”
Dia menilai sesungguhnya UUD 1945 sudah memberikan keleluasaan dalam bertindak. “Kita bersyukur para pendiri bangsa telah merumuskan UUD 1945 sebagai konsitusi negara yang tak lekang oleh zaman. Konsitusi tersebut dibuat dengan mengatur hal-hal yang sangat fundamental, sehingga kita punya keleluasaan menyusun peraturan yang di bawahnya agar siap merespon perubahan zaman untuk memenangkan kompetisi.”
Namun, malah unsur-unsur pemerintah yang membuat membuat peraturan turunan yang terlalu banyak. “Peraturan yang tidak konsisten, yang terlalu rigid dan mengekang ruang gerak kita sendiri, yang justru menghambat kecepatan kita dalam melangkah, mempersulit kita memenangkan kompetisi yang ada,” keluhnya.
Artikel ini telah tayang di hukumonline.com dengan judul “Menagih Janji Jokowi Membentuk Badan Legislasi Pemerintahan”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e31354e9134f/menagih-janji-jokowi-membentuk-badan-legislasi-pemerintahan.
Penulis : Rofiq Hidayat
Photo : RES