Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang langsung membentuk dan menyerahkan pembahasan RUU Cipta Kerja kepada Panitia Kerja (Panja) harus ditolak karena melanggar prosedur formal legislasi. Langkah itu merupakan penyimpangan dari prosedur pembentukan UU dalam Tata Tertib DPR, melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta akan menutup transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan RUU Cipta Kerja.
Pasal 151 ayat (1) Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib, yang baru saja disahkan pada 2 April 2020 lalu, menyebutkan bahwa pembahasan RUU dalam Panja dilakukan setelah Rapat Kerja (Raker) antara komisi, gabungan komisi, Baleg, Panitia Khusus, atau Badan Anggaran bersama dengan menteri yang mewakili Presiden. Lebih lanjut, Pasal 154 ayat (1) Tata Tertib DPR mengatur, Raker membahas seluruh materi RUU sesuai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari setiap Fraksi di DPR atau DPD apabila RUU terkait dengan kewenangannya. Selain itu, Pasal 156 ayat (1) Tata Tertib DPR menegaskan bahwa Raker menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk mendapatkan masukan terhadap RUU yang sedang dibahas.
Tercatat bahwa Raker DPR pada Selasa, 14 April 2020 merupakan Raker pertama yang mengagendakan kesepakatan untuk penjadwalan penyusunan dan penyerahan DIM RUU Cipta Kerja. Namun, dalam Raker tersebut, pimpinan Raker langsung membentuk Panja. Seharusnya, sebelum membentuk Panja, Baleg melakukan rangkaian Raker membahas seluruh materi RUU dengan menggunakan DIM sesuai dengan Tata Tertib DPR. Tidak semua fraksi siap untuk menyerahkan DIM, ada fraksi yang menginginkan RDPU terlebih dahulu, dan ada pula fraksi yang menolak pembahasan RUU CIpta Kerja dalam situasi darurat bencana nasional COVID-19. Tanpa DIM dari fraksi, Raker belum bisa masuk ke agenda pembahasan berikutnya. Dengan langsung masuk ke pembahasan di Panja, berarti diskusi yang terjadi hanya berupa pendalaman beberapa substansi saja; padahal materi RUU Cipta Kerja sudah menimbulkan kontroversi di publik.
Pelaksanaan RDPU dalam Raker adalah bentuk pelaksanaan dari partisipasi masyarakat yang merupakan perintah langsung dari Pasal 96 UU 12/2011. Pasal 96 ayat (1) UU 12/2011 menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 mengatur bahwa setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Dalam situasi bencana nasional COVID-19 ini, publik memiliki banyak keterbatasan dalam mengawal penyusunan RUU di DPR. Praktik pembahasan oleh Panja yang kerap dilakukan DPR di luar kompleks Gedung DPR semakin mempersulit akses publik untuk melakukan pengawalan dan pemantauan pembahasan RUU Cipta Kerja. Perlu dicatat juga bahwa sampai sekarang DPR belum mengeluarkan protokol partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi-fungsi legislasi, pengawasan, dan anggarannya mengingat keterbatasan mobilitas publik dalam situasi bencana nasional COVID-19.
Berdasarkan hal-hal tersebut, PSHK mendesak agar:
- Pimpinan DPR melakukan koreksi atas kesalahan prosedur dan cacat substansi dalam RUU Cipta Kerja dengan mengembalikan RUU itu kepada Presiden;
- Pimpinan DPR menegur Pimpinan Baleg yang mempercepat proses Pembahasan Tingkat I RUU Cipta Kerja, padahal RUU ini mendapatkan penolakan dari publik, baik dari aspek substansi maupun proses pembentukan;
- Pimpinan Baleg membatalkan pembentukan Panja dan menyusun protokol penjaringan aspirasi masyarakat terkait COVID 19 baru kemudian melibatkan seluruh anggota Baleg untuk membuka ruang partisipasi dan transparansi; dan
- Fraksi-fraksi di DPR untuk menarik kembali nama-nama anggota yang duduk di Panja dan meminta pembahasan terlebih dahulu di tingkat Baleg, dengan membuka ruang partisipasi dan transparansi.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK),
Minggu, 19 April 2020
Dok: - ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari\n