Penolakan masyarakat terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sepantasnya direspons oleh pemerintah dengan menghentikan pembahasannya, bukan mendorong pengesahannya. Pasalnya, dari sebelas kluster yang ada dalam rancangan yang menggunakan pendekatan omnibus law ini, hampir semuanya mengandung masalah.
Bab tentang investasi dan proyek strategis nasional, misalnya, secara gamblang memperlihatkan bagaimana praktik korupsi bisa terjadi. Pertama, ketentuan ini menyebutkan bahwa investasi pemerintah pusat dilakukan untuk meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian guna mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja. Investasi tersebut dilakukan oleh suatu lembaga pengelola investasi yang bertanggung jawab kepada presiden melalui dewan pengarah yang terdiri atas Menteri Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara. Dana investasi yang dikelola lembaga ini dapat bersumber dari aset negara dan badan usaha milik negara (BUMN). Artinya, menggunakan uang negara.
Namun ketentuan berikutnya menyebutkan aset negara dan aset BUMN yang dijadikan investasi tersebut dipindahtangankan menjadi aset lembaga, yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab lembaga. Bahkan ketentuan setelahnya menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian yang dialami lembaga ketika melaksanakan investasi merupakan keuntungan atau kerugian lembaga.
Secara terang-terangan ketentuan ini menyatakan kerugian yang dialami negara saat berinvestasi, baik disengaja maupun tidak, termasuk tindakan memperkaya orang lain, tidak lagi dikategorikan sebagai kerugian negara. Esensi utama dari korupsi yang selama ini menjadi konsensus adalah tindakan yang merugikan keuangan negara, tapi unsur itu dihilangkan dalam rancangan ini.
Kedua, dihilangkannya status penyelenggara negara pada pengurus dan pegawai di lembaga pengelola investasi, kecuali bagi mereka yang berasal dari pejabat negara atau ex officio. Logika seperti ini sangat keliru. Mereka adalah orang yang diberi kewenangan untuk memegang dan memutar uang negara sekaligus menerima gaji dari negara, sehingga sudah sepatutnya disebut sebagai penyelenggara negara. Pasal ini jelas bertujuan menghindar dari jerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menempatkan penyelenggara negara sebagai subyek tindak pidana korupsi yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara pidana.
Ketiga, terdapat pasal yang menyebutkan bahwa pengurus dan pegawai lembaga tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan tugas dan kewenangannya sepanjang pelaksanaan tugas dan kewenangannya itu dilakukan dengan iktikad baik. Pasal ini jelas dipersiapkan untuk membentengi pelaku tindak pidana korupsi dalam investasi dengan alasan imunitas. Bahkan, jika dilihat lebih teliti, pasal ini sebenarnya ingin mengganti unsur kesengajaan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Apabila terjadi kerugian terhadap keuangan negara, asal bisa dibuktikan bahwa segala tindakan pelaku sudah dilakukan dengan iktikad baik, pelaku bisa lepas dari jerat hukum.
Keempat, terdapat ketentuan yang melarang pihak mana pun, termasuk penegak hukum, menyita aset lembaga pengelola investasi, kecuali aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang bisa merampas aset dari suatu badan hukum apabila terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Kelima, terdapat norma sapu jagat yang mencoba mengambil alih pengaturan mengenai pengelolaan keuangan negara ke dalam rancangan ini. Disebutkan bahwa sepanjang diatur secara khusus dalam undang-undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/BUMN tidak berlaku untuk lembaga pengelola investasi yang diatur berdasarkan undang-undang ini. Lagi-lagi pasal ini jelas dibuat untuk menghindar dari jerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena segala pengaturannya akan didasari Undang-Undang Cipta Kerja yang minim sanksi tersebut.
Dari beberapa ketentuan tersebut, dapat dilihat bagaimana ruang terjadinya korupsi sedang dipersiapkan. Desain yang dicoba disusun dari pengaturan mengenai investasi dalam rancangan ini adalah menghilangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi, seperti unsur dengan sengaja, merugikan keuangan negara, dan dilakukan oleh penyelenggara negara. Begitu juga larangan tentang perampasan aset dari lembaga pengelola investasi meskipun terbukti melakukan atau ikut serta dalam tindak pidana korupsi.
Pengaturan seperti ini tentu sangat berbahaya bagi iklim pemberantasan korupsi di Indonesia karena akan mengecualikan lembaga pengelola investasi dari pemberlakuan undang-undang yang berkaitan dengan korupsi, yang selama ini digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Bagaimana rancangan ini bisa diterima jika di dalamnya bersemayam ruang untuk melakukan praktik-praktik korupsi dalam investasi? Karena itu, sudah sepantasnya rancangan ini ditolak untuk dibahas, apalagi disahkan.
Sumber: https://kolom.tempo.co/read/1357516/ruang-korupsi-dalam-investasi-cipta-kerja/full&view=ok
Penulis: Agil Oktaryal