Setelah pembahasannya dikebut di tengah pandemi Covid-19, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akhirnya menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjelang tengah malam pada Sabtu, 3 Oktober lalu. Selangkah lagi, rancangan undang-undang itu akan disahkan.
Namun polemik mengenai RUU ini terus bergulir di tengah masyarakat. Sejumlah kelompok pemangku kepentingan terus menyuarakan penolakan terhadap rancangan undang-undang ini. Terdapat tiga poin besar dari penolakan tersebut, yakni soal proses pembentukan, substansi, dan demokrasi.
Pertama, dari segi proses pembentukan undang-undang, rancangan ini tak melibatkan partisipasi publik. Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 menyatakan bahwa”masyarakat berhak menyampaikan masukan baik lisan maupun tulisan dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan”.
Rancangan undang-undang ini tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat. Kalaupun ada perubahan minor, masukan publik terhadap isu yang menjadi pokok penolakan, seperti pengaturan mengenai buruh dan perlindungan lingkungan hidup, cenderung diabaikan. Pembahasannya tetap berlanjut, walaupun penolakan tidak henti-hentinya terjadi.
Kedua, penolakan publik atas substansi RUU ini berawal dari proses penyusunan yang eksklusif oleh pemerintah. Masyarakat curiga karena rancangan undang-undang ini merevisi 79 undang-undang yang berisi 1.244 pasal yang mengatur banyak hal, dari penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, administrasi pemerintahan, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, hingga kawasan ekonomi khusus.
Banyak kejanggalan dari substansi yang diatur dalam RUU itu. Ada yang merugikan kelompok tertentu seperti buruh, adanya pasal inkonstitusional yang dihidupkan kembali, tidak ramah lingkungan, dan mengancam masyarakat marginal. Ada pula akrobat hukum, seperti ketentuan peraturan pemerintah yang dapat mengubah undang-undang dan lain sebagainya.
Persoalan-persoalan tersebut diangkat oleh banyak kalangan melalui berbagai cara, dari unjuk rasa, seminar, hingga publikasi riset. Pada intinya, masyarakat meminta agar pembahasan RUU ini dihentikan. Desakan ini muncul, selain karena bermasalah dari segi proses maupun substansi, lantaran ada persoalan pandemi Covid-19, yang seharusnya lebih diutamakan oleh pemerintah dan DPR karena nyata telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat.
Alih-alih mendengarkan masukan publik, DPR bersama pemerintah justru terus menggenjot proses pembahasan RUU tersebut. Bahkan DPR rela melakukan beberapa kali pembahasan rancangan undang-undang tersebut pada hari libur. Tidak pernah sebelumnya Dewan semangat seperti ini, selain pada tahun lalu saat merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang juga mendapat penolakan masif dari publik.
Ketiga, sejatinya ada hal yang lebih mengkhawatirkan dari undang-undang yang disusun menggunakan konsep omnibus law ini, yaitu ancaman terhadap demokrasi. Demokrasi itu bukan saja soal pencoblosan dalam pemilihan umum, tapi juga termasuk peran serta masyarakat, terutama dalam pembentukan hukum. Demokrasi menentukan bahwa sumber kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Dalam negara demokrasi, hukum itu dibentuk atas kehendak rakyat.
Proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja ini nanti dapat menjadi role model pembentukan undang-undang yang mengancam demokrasi karena tanpa partisipasi publik. Bila ada pihak yang mempersoalkan pembentukan undang-undang yang tidak partisipatif, ungkapan seperti”kita pernah membentuk undang-undang tanpa partisipasi” akan semakin sering terdengar. Hal ini bisa menjadi alat untuk membungkam publik karena pembentukan undang-undang tanpa partisipasi ini sudah berulang kali terjadi. Selain Undang-Undang Cipta Kerja, DPR sudah melakukannya saat merevisi Undang-Undang KPK serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara.
Bila Rancangan Undang-Undang Cipta kerja ini disahkan, ia memang akan berlaku layaknya undang-undang biasa. Tapi, dari segi demokrasi, ia telah memberangus kehidupan demokrasi negeri ini akan meniadakan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Sumber: https://koran.tempo.co/read/opini/458531/ancaman-bagi-demokrasi-dari-cipta-kerja
Penulis: Antoni Putra