Pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) menuai pro dan kontra. Kritik terhadap Undang-Undang ini menyasar pada aspek formil dan materiil. Selain soal substansi yang kontroversial dan penggunaan perspektif yang tidak seimbang dalam memandang permasalahan dan merumuskan solusi, minimnya pelibatan publik juga menjadi sasaran kritik atas proses pembentukan Undang-Undang ini. Isu ketenagakerjaan menjadi sentral dalam kritik yang mengemuka, di samping isu lingkungan, pengadaan lahan, pertanahan, hingga pendidikan.
Namun, ada satu isu yang tidak banyak dibahas tetapi terdampak oleh disahkannya UU Cipta Kerja, yaitu isu disabilitas. Apabila ditelisik melalui Naskah Akademik ataupun serangkaian diskusi dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja, isu disabilitas tidak dibahas secara mendalam. Adapun suara publik melalui media, muncul karena disuarakan oleh organisasi penyandang disabilitas. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menyadari bahwa UU Cipta Kerja yang mereka bentuk akan berdampak besar terhadap penyandang disabilitas.
Permasalahan dalam UU Cipta Kerja terkait isu disabilitas tidak hanya dilihat dari aspek substansi, tetapi juga dalam proses pembentukannya. Dari aspek substansi, permasalahan dalam UU Cipta Kerja mencakup penggunaan terminologi yang sudah usang dan materi muatan yang bermasalah. Sementara dari aspek proses pembentukan, persoalan terbesar terlihat pada proses penyusunan dan pembahasan yang tidak transparan, tidak partisipatif, dan tidak ramah akses bagi penyandang disabilitas. Setidaknya terdapat empat indikator yang menunjukkan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja berdampak terhadap upaya penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang secara lengkap akan dijelaskan sebagai berikut.