Dengan maraknya keberadaan e-commerce, kegiatan transaksi menjadi lebih mudah dan dapat dilakukan secara lintas batas melalui komputer ataupun ponsel. Berdasarkan data dari Google Temasek pada 2019, peningkatan transaksi mencapai lebih dari tujuh kali dari nilai transaksi pada 2015, yaitu dengan nominal awal $5,5 miliar menjadi nilai $38 miliar. Khusus Indonesia, Global Web Index mencatat bahwa per 2018 aktivitas transaksi konsumen melalui e-commerce berada pada posisi tertinggi di dunia.
Meningkatnya transaksi tentu selaras dengan potensi terjadinya suatu sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Oleh karena itu perlu adanya antisipasi terhadap resiko atas transaksi melalui e-commerce dengan keberadaan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang sifatnya efisien dan murah dari segi biaya, khususnya dalam hal menangani kasus-kasus kecil. Salah satu cara penyelesaian problematika tersebut ialah dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa secara daring atau Online Dispute Resolution (ODR).
Indonesia sesungguhnya memiliki beberapa regulasi yang mendukung ODR, yaitu UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian diubah dengan UU No. 19/2016, UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 7/2014 tentang Perdagangan, UU No. 8/1999 Perlindungan Konsumen, PP No. 71/2019 tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik, PP No. 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dan beberapa peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Di tingkat regional, ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP 2025) berupaya membangun perkembangan sistem pelindungan konsumen pada masing-masing tingkat nasional dan regional yang efektif dalam menangani masalah yang dihadapi konsumen, khususnya sejak berkembangnya transaksi perdagangan secara daring. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah Indonesia juga berinisiatif melakukan perubahan, termasuk memastikan konsistensi kerangka peraturan dalam menghadapai masalah dari interaksi baru, seperti digitalisasi ekonomi dan perdagangan lintas batas.
Berdasarkan hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit Indonesia (GIZ) kembali mengadakan diskusi kelompok terpumpun daring dalam rangka menyusun kajian terkait peluang dan tantangan atas implementasi ODR di Indonesia pada Rabu (24/3/2021). Kajian ini merespon komitmen regional dalam rangka pelindungan konsumen yang dirumuskan melalui ASAPCP 2025.
Diskusi yang dimoderatori oleh peneliti PSHK, Estu Arifianti mengundang segenap pemangku kepentingan terpilih yakni perwakilan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), perwakilan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), perwakilan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), perwakilan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), perwakilan dari Tokopedia, dan perwakilan dari Go-Jek.
Bagi Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN, terdapat urgensi keberadaan mekanisme ODR untuk menangani sangketa yang bersifat lintas batas. Hal ini dikarenakan sistem perlindungan konsumen di negara-negara ASEAN berbeda-beda. Maka dari itu ODR dianggap sebagai suatu inovasi di bidang legal technology dalam hal penanganan kasus yang bersifat kompetitif dan people oriented.
Namun masih terdapat beberapa perdebatan terkait mekanisme ODR dalam menangani suatu sengketa. Beberapa permasalahan tersebut ialah dalam hal pembagian peran dari unsur human dan non-human, faktor emosional pihak bersangketa yang sulit dinilai kebenarannya dalam metode daring, dan permasalahan koneksi jaringan internet.
Selain itu, menurut Arief Sempurno dari BANI terdapat permasalahan yang penting untuk dibahas ialah terkait dengan unsur confidentiality dari masing-masing pihak yang bersengketa. Confidentiality merupakan perhatian utama karena dengan tidak dilakukannya penanganan sengketa secara langsung, mekanisme penanganan sangketa berbasis ODR dapat berpotensi terjadinya kecurangan seperti penggunaan earpiece yang berdampak pada skala kejujuran pernyataan dari masing-masing pihak yang bersengketa.
Ia menambahkan bahwa kesadaran dan pengetahuan pelaku UMKM juga perlu ditingkatkan untuk menyelesaikan sengketa melalui mekanisme ODR. Hal ini karena mekanisme ODR sangat cocok untuk digunakan oleh para pelaku UMKM karena sifatnya yang efektif, efisien, dan berbiaya murah. Maka dari itu harapannya dengan adanya pembahasan secara rutin mengenai mekanisme ODR ini dapat menstimulasi topik-topik baru yang dapat dikembangkan demi keberlangsungan mekanisme ODR yang efektif dan efisien di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Ramzy Erzano.