Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Perjuangan publik dalam membatalkan UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang perubahan kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK (UU KPK) mendapati kekecewaan. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan pengujian formil UU KPK dan hanya mengabulkan sebagian kecil materi yang diajukan. Tercatat, ada 7 (tujuh) permohonan yang diputus serentak oleh MK pada Selasa, 4 Mei 2021, yakni Permohonan 79/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 59/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, dan 77/PUU-XVII/2019.
Berdasarkan Putusan yang melukai hati mayoritas rakyat dan anti pemberantasan korupsi tersebut, PSHK menilai:
Aspek Putusan Pengujian Formil:
- Hakim keliru ketika menyatakan tidak terjadi penyelundupan hukum dalam revisi UU KPK. Hal itu memperlihatkan hakim tidak dengan rinci melihat fakta yang dibentangkan dalam permohonan.
- Hakim keliru kala menyatakan naskah akademik (NA) revisi UU KPK tidak fiktif. Apalagi klaim itu didasarkan hanya kepada KBBI yang secara frasa menyebut fiktif itu “fiksi” atau tidak berwujud, sementara NA revisi UU KPK ada wujudnya. Pertimbangan ini sangat meruntuhkan wibawa dan mandat konstitusional MK.
- Hakim keliru kala menyebut revisi UU KPK telah partisipatif dan menyerap aspirasi publik karena telah dilakukan seminar di sebagian kecil kampus di Indonesia pada tahun 2017. Akan tetapi hakim gagal menjelaskan bagaimana aspirasi yang disampaikan saat seminar terlaksana karena sejak bergulirnya wacana revisi UU KPK sejak periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara konsisten selalu mendapat perlawanan dari publik.
- Hakim keliru ketika menyebut demonstrasi yang masif di hampir seluruh penjuru Indonesia adalah sebagai bentuk kebebasan menyatakan pendapat saja. Hakim abai dalam memaknai penolakan publik merupakan bagian dari partisipasi dalam proses legislasi dan tidak ada hubungannya dengan aspek formil pembentukan undang-undang. Seharusnya hakim paham bahwa gelombang penolakan publik hingga menimbulkan korban nyawa mahasiswa adalah kulminasi diabaikannya proses partisipasi publik oleh DPR dan Pemerintah selama pembahasan revisi KPK berlangsung.
- Hakim keliru saat menyalahkan pemohon yang tidak bisa menghadirkan bukti rekaman video persidangan untuk membuktikan bahwa paripurna DPR tidak kuorum saat pengambilan keputusan revisi UU KPK. Hal ini sangat kontradiktif, mengingat di satu sisi hakim mengamini bahwa kehadiran fisik saat paripurna sangat dibutuhkan dan juga menyadari bahwa paripurna tidak kuorum secara fisik. Namun sisi lain hakim justru tidak menggunakan haknya untuk memaksa DPR menghadirkan bukti rekaman video ke persidangan.
Aspek Putusan Pengujian Materiil:
Dalam pengujian materil PSHK menhargai pembatalan dan dan pemberian tafsir beberapa pasal yang ada dalam revisi UU KPK meskipun sifatnya minor dibanding besarnya dampak revisi UU KPK terhadap pelemahan KPK. Misalnya:
- MK mendefinisikan ulang pengertian KPK dalam ketentuan umum;
- Dewan Pengawas (Dewas) posisinya tidak hierarkis dengan komisioner dan tidak melaksanakan tugas pro justicia sehingga KPK tidak perlu izin melainkan cukup pemberitahuan; dan
- Jangka waktu penerbitan SP3 terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan jika ada bukti baru SP3 bisa dicabut.
Meskipun begitu, terhadap putusan materil tersebut PSHK menilai:
- Putusan MK yang menyatakan Pasal 1 angka 3 UU KPK inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “KPK sebagai lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tipikor bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun” adalah penafsiran yang kontradiktif dengan cita-cita hadirnya KPK.
- Putusan MK yang menyatakan Dewan Pengawas (Dewas) bukan penegak hukum, tidak melaksanakan tugas pro justicia sehingga tindakan KPK seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan tidak perlu izin Dewas melainkan cukup pemberitahuan memang sekilas baik bila dibandingkan norma yang ada di UU KPK. Namun, seharusnya MK mengambil sikap tegas seperti menyatakan inkonstitusinal keberadaan Dewas dan mengembalikan konsep pengawasan KPK seperti sediakala tanpa Dewas.
- Putusan MK yang menyebut SP3 bisa dikeluarkan terhitung sejak dikeluarkannya SPDP telah membuat syarat penerbitan SP3 menjadi justru lebih longgar daripada syarat diatur KUHAP.
- Putusan MK yang menyebut bahwa SP3 yang dikeluarkan KPK bisa dibatalkan jika mendapatkan bukti baru memang angin segar di tengah polemik SP3 yang dikeluarkan baru-baru ini di kasus BLBI dan tentunya untuk kasus-kasus ke depannya. Akan tetapi, MK seharusnya membatalkan kewenangan KPK mengeluarkan SP3 sebagai bentuk kekhususan KPK dibanding penegak hukum lainnya.
Berdasarkan poin-poin tersebut PSHK menggap bahwa putusan MK ihwal pengujian formil dan materil UU KPK adalah putusan yang tidak memiliki kadar konstitusionalitas dan gagal menyelamatkan KPK dari keterpurukan yang semakin jauh.