Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden atas Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga. Dalam peraturan tersebut, setiap rancangan peraturan yang diprakarsai oleh kementerian/lembaga harus mendapat persetujuan lebih dulu dari presiden sebelum disahkan.
Layaknya peraturan perundang-undangan pada umumnya, peraturan ini tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan yang tidak luput dari perbincangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini khususnya dalam pembentukan peraturan menteri dan peraturan lembaga pemerintah nonkementerian.
Lahirnya peraturan ini dapat menjadi kontrol yang efektif dalam mengendalikan kementerian dan lembaga dalam hal membentuk peraturan. Selama ini, kementerian dan lembaga adalah produsen terbesar dalam membentuk peraturan. Sebagaimana catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, dalam rentang 2014 hingga Maret 2021, sedikitnya terbit 10.106 peraturan menteri dan 2.980 peraturan lembaga pemerintah nonkementerian.
Bila merujuk pada catatan jumlah dua jenis peraturan tersebut, jika peraturan presiden yang baru ini ditujukan sebagai kontrol presiden untuk mengatasi persoalan jumlah peraturan, tentu hal ini dapat dibenarkan. Dengan begitu, presiden secara tidak langsung akan membatasi kementerian dan lembaga membentuk peraturan sendiri. Dalam konteks ini, presiden selaku kepala pemerintahan perlu tahu setiap kebijakan yang diambil bawahannya, sehingga persetujuan diperlukan untuk memperketat pengawasan yang membuatnya akan lebih bertanggung jawab atas kesalahan kebijakan yang dilakukan menterinya.
Selain itu, persetujuan presiden ini akan meredam masalah ego sektoral antar-kementerian dan lembaga yang selama ini tidak bisa diatasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Misalnya, yang terjadi antara Kementerian Hukum dan Kementerian Dalam Negeri pada 2018. Pada saat itu, Kementerian Hukum menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk di daerah serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, atau Rancangan Peraturan dari Lembaga Nonstruktural oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengharmoniskan sisi teknis penyusunan peraturan perundang-undangan di kementerian dan lembaga di pusat dan daerah.
Peraturan itu mendapat penolakan dari Menteri Dalam Negeri, yang menganggap bahwa dua peraturan tersebut keliru karena substansinya membuat Kementerian Hukum memiliki kewenangan melebihi apa yang seharusnya. Bagi Menteri Dalam Negeri, kewajiban koordinasi pemerintah daerah dalam penyusunan peraturan daerah hanya dengan Kementerian Dalam Negeri, baik dalam proses penyusunan, memfasilitasi pembentukan peraturan daerah, evaluasi rancangan peraturan daerah, maupun pemberian nomor register terhadap rancangan peraturan daerah.
Namun peraturan presiden yang baru juga menimbulkan masalah. Setidaknya terdapat dua persoalan dengan lahirnya peraturan ini. Pertama, peraturan itu menyebabkan terjadinya pergesekan kewenangan dalam hal harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal rancangan peraturan menteri dan lembaga.
Selama ini, ketika berbicara harmonisasi peraturan perundang-undangan, hal yang akan terpikirkan untuk pertama kali adalah Direktorat Jenderal Peraturan dan Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Dua badan di Kementerian Hukum tersebut telah lama menjalankan fungsi tersebut.
Kini, setelah adanya peraturan presiden yang baru, fungsi harmonisasi secara tidak langsung berada di dua instansi itu dan kedua dilakukan oleh presiden melalui perantara Sekretariat Kabinet. Padahal, bila merujuk pada fungsi yang dijalankan oleh Kementerian Hukum selama ini, seharusnya izin presiden sebagaimana yang dimaksudkan peraturan presiden itu tidaklah diperlukan.
Direktorat Jenderal Peraturan dan Perundang-undangan selama ini telah menjalankan fungsi proses pengharmonisan rancangan peraturan menteri atau lembaga yang di dalamnya meliputi pembulatan dan pemantapan konsepsi berupa penyelarasan aspek substansi dan teknik penyusunan serta fungsi klarifikasi guna mendapat persetujuan presiden. Peraturan presiden itu akan menyebabkan fungsi ini menjadi sia-sia karena kembali membuka ruang intervensi atau pembahasan ulang terhadap rancangan peraturan yang sudah ditangani oleh Direktorat.
Masalah kedua adalah terabaikannya sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang tersebut menginstruksikan dibentuknya lembaga khusus yang membidangi peraturan perundang-undangan guna melakukan kontrol dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintah, termasuk kementerian dan lembaga.
Terbitnya peraturan presiden yang baru ini meninggalkan pertanyaan: mengapa presiden tidak menerbitkan saja peraturan mengenai pembentukan lembaga khusus yang mengurusi peraturan perundang-undangan tersebut. Badan atau lembaga tersebut tentu dapat menjawab semua persoalan, dari kontrol presiden terhadap pembentukan peraturan hingga mengatasi konflik kewenangan lembaga negara dan ego sektoral.
Penulis : Antoni Putra