Pada 2021, Presiden dan DPR menetapkan 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang masuk dalam prioritas adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. RUU tersebut terkait dengan kebutuhan penyandang disabilitas, khususnya terkait dengan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam mendapatkan informasi yang aksesibel dan memperluas informasi yang positif dan edukatif terkait dengan konsepsi disabilitas.
Menurut pendiri Indonesian Deaf-Hard of Hearing Law and Advocacy (IDHOLA), Andi Kasri Unru, upaya migrasi siaran televisi analog ke digital harus disertai dengan peningkatan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Antara lain dengan menyediakan takarir atau juru bahasa isyarat yang ditampilkan dengan ukuran yang sesuai pada televisi digital, karena tanpa hal tersebut penyandang disabilitas sensorik seperti tuli dan netra akan kesulitan dalam memahami siaran televisi atau pun mencari informasi lainnya.
Hal ini terjadi selama pandemi Covid-19 berlangsung, sebanyak 59.40% responden yang merupakan penyandang disabilitas sensorik menyatakan bahwa aksesibilitas yang dibutuhkan belum tersedia di berbagai informasi. Padahal informasi yang mudah diakses sangat memberikan pengaruh pada tingkat perubahan perilaku pencegahan Covid-19.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Legislasi dalam Perspektif Disabilitas bertajuk “RUU Penyiaran: Penguatan Jaminan Hak Atas Informasi bagi Penyandang Disabilitas dalam Sektor Penyiaran” yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) bekerja sama dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dan Disability Rights Advocacy Fund (DRAF) pada Kamis (23/9/2021).
Menurut Gender and Social Inclusion Specialist at the National Designated Authorities Green Climate Fund (NDA GCF) Indonesia yang juga mantan praktisi penyiaran, Chandra Sugarda, saat ini produksi konten pemberitaan sudah banyak mengangkat isu disabilitas atau melibatkan penyandang disabilitas. Meski begitu, masih ada narasi berita terhadap penyandang disabilitas yang lebih menonjolkan rasa kasihan atau isu kesehatan, bukan terkait dengan hak-hak penyandang disabilitas. Hal tersebut memunculkan pola interaksi di masyarakat yang justru mengasihani penyandang disabilitas, bukan memujudkan pola interaksi yang setara.
Untuk mengatasi hal tersebut, produksi konten harus mulai melibatkan penyandang disabilitas untuk memastikan tayangan aksesibel bagi penyandang disabilitas dan menampilkan penyandang disabilitas di depan layar sehingga mengenalkan masyarakat akan ragam disabilitas. Selain itu, Galuh juga menuturkan perlunya pelibatan penyandang disabilitas untuk mengawasi konten-konten yang tidak inklusif dan aksesibel bagi penyandang disabilitas.
Menurut Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Komunikasi dan Informasi, Wiryanto, menuturkan bahwa peluang untuk memberikan masukan atas RUU Penyiaran masih sangat terbuka karena pembahasannya masih berlangsung. Ia menambahkan bahwa migrasi siaran televisi analog ke digital tahap pertama akan dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2 November 2022. Mendukung hal itu, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat berkomitmen mempercepat proses perubahan Undang-Undang Penyiaran pada tahun ini.
Diskusi ini diharapkan dapat membuka lebih luas ruang partisipasi bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan gagasannya dalam proses legislasi. Dengan terbukanya partisipasi publik dalam proses legislasi, maka diharapkan mampu menghasilkan undang-undang yang lebih sensitif dengan kebutuhan kelompok rentan, khususnya para penyandang disabilitas. Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi, dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.