Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formal dan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut dibacakan pada Kamis, 25 November 2021
Pilihan Mahkamah menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat adalah untuk memberi kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaikinya. Perbaikan itu perlu dilakukan sesuai dengan dan tunduk pada asas-asas dan tata cara pembentukan undang-undang, terutama asas keterbukaan dan partisipasi publik.
Sayangnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja masih berlaku. Mahkamah hanya melarang pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana baru dan mengeluarkan kebijakan strategis serta berdampak luas berdasarkan undang-undang ini. Mahkamah memberi waktu maksimal dua tahun bagi pembentuk undang-undang (DPR bersama pemerintah) untuk memperbaikinya. Bila tenggat terlewati, Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Perbaikan itu tidaklah sederhana. Ada beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian. Pertama, perbaikan itu tidak akan bisa dilakukan tanpa lebih dulu memberikan legitimasi terhadap pendekatan omnibus law. Pendekatan ini membutuhkan landasan hukum tertentu karena ia memiliki kekhususan yang berbeda dari cara-cara yang selama ini digunakan.
Pembentukan undang-undang haruslah merujuk pada Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun undang-undang ini tidak memberikan legitimasi bagi omnibus law, dalam arti dia tidak mengatur soal penggunaan omnibus law, sehingga Mahkamah tidak membenarkan pendekatan omnibus law. Pendekatan ini dinilai “ilegal” karena penggunaannya tanpa landasan hukum.
Dari segi teknis pembentukan, ketiadaan aturan soal omnibus law ini juga berdampak pada peraturan dan undang-undang lain yang disusun menggunakan pendekatan yang sama. Hingga saat ini, omnibus law juga diterapkan dalam membentuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan; Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Kemudahan Berusaha; dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja di bidang perpajakan. Peraturan dan undang-undang yang menggunakan pendekatan omnibus law tersebut juga perlu dikoreksi karena putusan Mahkamah tidak hanya mengoreksi Undang-Undang Cipta Kerja, tapi juga pendekatan omnibus law.
Kedua, perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja perlu dilakukan dengan memperhatikan asas-asas pembentukan undang-undang yang baik, seperti asas keterbukaan dan partisipasi publik. Undang-undang itu juga tidak dirumuskan secara baik karena masih terdapat perubahan substansi setelah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.
Partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang selama ini memang sering kali dipandang sebelah mata dan dianggap menghambat proses legislasi. Padahal partisipasi adalah hak publik yang dijamin undang-undang. Ketiadaan partisipasi sudah terbukti menyebabkan undang-undang yang dihasilkan selalu mendapat penolakan masyarakat, bahkan penolakan terjadi sejak pembahasan di DPR hingga disahkan menjadi undang-undang.
Karena itu, dalam proses perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja nanti, partisipasi publik harus menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Bila proses perbaikan tidak memberikan ruang partisipasi masyarakat secara maksimal, penolakan tidak akan ada hentinya terjadi dan bisa jadi hasil perbaikan itu pun akan kembali diuji di Mahkamah Konstitusi.
Penulis: Antoni Putra
Sumber: https://koran.tempo.co/read/opini/469876/putusan-mk-dan-jalan-perbaikan-undang-undang-cipta-kerja