Seandainya diadakan ajang penganugerahan bagi pelaku pelanggar hak asasi manusia (HAM), korporasi rokok mungkin akan keluar jadi salah satu pemenang untuk kategori pelaku non-negara.
Sulit untuk tidak menyebut andil industri tembakau atas setidaknya 8 juta kematian prematur akibat epidemi rokok global. Di Indonesia, rokok telah merenggut lebih dari 300.000 nyawa tiap tahunnya. Angka itu diperkirakan melebihi jumlah korban kematian akibat penyalahgunaan narkotika yang berkisar pada angka 15 ribu per tahun. Ironisnya, hampir sepertiga dari jumlah korbannya adalah perokok pasif.
Sementara banyak nyawa tak bersalah melayang, pundi-pundi kekayaan para konglomerat tembakau justru meningkat berkat bencana besar yang terjadi. Sejarawan sains dari Stanford University Robert Proctor menyebut fenomena ini bagaikan ‘Golden Holocaust’.
Namun, situasi di Indonesia lebih seperti anomali. Kendati meninggalkan banyak jejak pelanggaran HAM, watak antagonis konglomerasi rokok di Indonesia kerap terselamatkan oleh banyak pemuja industri tembakau. Tak jarang kita mendengar wacana-wacana mengglorifikasi pelaku industri tembakau. Misalnya, industri rokok berjasa memberi hasil cukai terbesar bagi negara, menyerap banyak tenaga kerja, atau berkontribusi pada prestasi atlit olahraga nasional.
Narasi itu mungkin saja faktual, tapi menyesatkan masyarakat. Sebab, seberapa pun besarnya timbal balik ekonomi yang diberikan dari sektor industri tersebut, manfaatnya tidak pernah sebanding dengan biaya-biaya kerugian yang timbul dari bencana sosial dan kesehatan yang diciptakan. Lagi pula yang membayar cukai adalah puluhan juta konsumen, bukan industri rokok.
Pelanggaran HAM industri tembakau
Setidaknya ada tiga alasan mengapa industri rokok layak disebut sebagai pelanggar HAM.
Pertama, ekspansi industri rokok yang tak terkendali bertolak belakang dengan upaya negara memenuhi standar kehidupan terbaik bagi warganya. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam Komentar Umum Nomor 14 (Pasal 12 Kovenan Internasional Hak Ekosob), secara khusus menyoroti kewajiban negara mengendalikan konsumsi berisiko akibat industri tembakau, dalam rangka mengupayakan standar kesehatan tertinggi. Salah satu indikator standar hidup yang baik tercermin dari rendahnya angka kematian suatu negara.
Persoalannya, jumlah penjualan produk tembakau di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu. Sementara, terdapat korelasi positif antara tingginya angka penjualan produk tembakau di suatu negara dan tingginya angka kematian di negara tersebut.
Kedua, jika pun pendukung industri tembakau menyangkal bahwa rokok tidak membunuh, produk tersebut faktanya mengganggu tingkat kesejahteraan banyak orang. Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, rutin memasukkan rokok dalam daftar teratas komoditas penyumbang kemiskinan di Indonesia. Tentu ada alasan mengapa rokok dan sejenisnya digolongkan sebagai barang nirmanfaat (demerit goods).
Pada 2012 silam, sebuah survei memperkirakan pola konsumsi rokok masyarakat Indonesia mendekati satu bungkus per hari. Pada saat bersamaan, satu dari tiga orang Indonesia adalah perokok.
Maka, jika diasumsikan harga rokok tiap bungkusnya Rp 20 ribu, dalam sebulan seseorang menghabiskan paling tidak Rp 600 ribu (atau setara dengan Rp 7,2 juta setahun) untuk mengkonsumsi barang nirmanfaat itu. Sementara, pendapatan per kapita orang Indonesia pada 2020 tak lebih dari Rp 56,9 juta per tahun (atau Rp 4,7 juta per bulan). Dengan asumsi demikian, perhitungan kasarnya lebih dari satu bulan gaji yang didapatkan seorang perokok aktif berakhir di kantong pengusaha rokok tiap tahunnya.
Hitungan sebelumnya tentu saja hanya estimasi kasar. Bukan tidak mungkin situasinya akan jauh lebih buruk mengingat kebanyakan populasi perokok di Indonesia bekerja di sektor informal yang terasosiasikan dengan penghasilan di bawah ambang pendapatan per kapita.
Ketiga, jika pun rokok ‘belum membunuh’ atau ‘belum memiskinkan seseorang’, efek dari konsumsi jangka panjangnya akan merenggut kehendak bebas seseorang mengendalikan perilaku konsumsinya. Studi menunjukkan bahwa efek dari adiksi rokok berpengaruh negatif pada pilihan konsumsi seseorang.
Di satu sisi, banyak perokok aktif menyangkal imbauan berhenti merokok karena menganggap merokok adalah pilihan. Dalam hemat rational choice theory, manusia diasumsikan mampu berperilaku rasional dalam memilih kebutuhan dan manfaat yang dikehendaki dalam tiap-tiap keputusan ekonominya.
Namun yang jarang disadari adalah kemampuan rasional itu terganggu ketika seseorang mengalami adiksi. Maka tak jarang kita mendengar anekdot bahwa seseorang lebih rela menghabiskan uang untuk membeli rokok ketimbang kebutuhan primer seperti pangan. Atau, paradoks bahwa seorang perokok mengaku mengetahui akan bahayanya namun tetap memilih untuk terus merokok. Setiap bungkus rokok jelas memberi peringatan bergambar “Merokok membunuhmu” dan pesan sejenis.
Paradoks seperti itu menjelaskan kalau dorongan konsumsi perokok kebanyakan bukan datang dari keputusan rasional, melainkan akibat faktor adiksi. Dan peredaran serta pemasaran produk yang tidak terkendali punya andil menciptakan fenomena demam merokok.
Celakanya, ketika dampak negatif pada akhirnya diderita oleh konsumen akibat konsumsi berkepanjangan, korporasi rokok dapat dengan mudah lepas tangan dan berdalih bahwa risiko yang dialami adalah konsekuensi atas pilihan sadar yang sedari awal diamini konsumennya.
Selain ketiga alasan itu, berbagai penelitian juga menemukan rekam jejak pelanggaran
HAM di segala rantai pasok sektor industri rokok. Mulai dari isu pekerja anak, upah tidak layak, eksploitasi pekerja, deforestasi, hingga pencemaran lingkungan darat, udara, dan lautan.
Uji tuntas HAM industri tembakau
Bukan cuma negara, sektor privat juga memiliki kewajiban menghormati HAM. Pada 2011, PBB mengeluarkan Prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGP). Instrumen ini sengaja dibuat untuk menyasar kepatuhan korporasi akan HAM dalam operasi bisnisnya.
Meski tergolong hukum yang berdaya laku lunak (soft law), instrumen UNGP dapat menjadi alternatif dalam mendorong pemulihan korban pelanggaran HAM oleh korporasi ketika negara tidak menunjukkan kehendak politik yang positif.
Dalam prinsip operasionalnya, UNGP meminta korporasi untuk senantiasa dan sukarela mengidentifikasi dampak HAM dari bisnis yang dijalankan pada seluruh rantai proses penciptaan nilai dari hulu hingga hilir. Adapun, berbekal temuan pengujian itu korporasi harus memitigasi dengan memberikan pemulihan pada korbannya serta mencegah pelanggaran berulang.
Philip Morris International (PMI), satu dari sekian perusahaan tembakau raksasa dunia dan juga beroperasi di Indonesia, pernah melakukan uji tuntas dampak HAM pada 2017 silam. Temuannya menunjukkan bahwa operasionalisasi bisnis perusahaan tersebut bukan hanya melanggar HAM, namun bertentangan dengan agenda hak asasi manusia. Atas temuan itu, tim penguji menyarankan perusahaan asal Amerika Serikat itu menghentikan seluruh produksi dan pemasaranya.
Bagi Indonesia, metode uji tuntas dampak HAM yang diperkenalkan UNGP dapat menjawab semua mitos-mitos yang kerap didengungkan oleh pendukung industri rokok. Perusahaan rokok selama ini kerap berlindung di balik kegiatan-kegiatan filantropi untuk merekayasa reputasi sosialnya. Tentu hal itu bukan tanpa sebab. Penelitian saya menunjukkan bahwa semakin seseorang menganggap industri rokok berjasa, semakin minimalis pula standar ekspektasi pertanggung jawaban sosial yang diharapkan dari industri.
Dengan kecenderungan persepsi seperti itu, industri rokok malah diuntungkan karena mampu memanfaatkan kekuatan finansialnya untuk memanipulasi reputasi sosialnya untuk membangun citra seolah-olah berjasa besar bagi bangsa. Pada gilirannya, hal ini berkontribusi membentuk pola pikir permisif dan apologetis masyarakat terhadap berbagai pelanggaran HAM oleh industri rokok. Rokok, merokok dan industri rokok dipandang sebagai hal normal.
Bagaimanapun, pelanggar HAM tidak pantas dipuji atau mendapat tempat di hati masyarakat. Jika negara tidak bisa diandalkan untuk mengambil kebijakan yang konkret, masih banyak cara yang dilakukan. Di antaranya, kita bisa memboikot saham emiten rokok agar korporasi rokok tidak terus berekspansi dengan modal dari publik. Atau, sesederhana mendesak korporasi rokok melakukan uji tuntas dampak HAM.
Sudah waktunya publik menuntut korporasi rokok bertanggung jawab atas tiap jejak atas tiap jejak pelanggaran HAM yang mereka ciptakan.
Penulis : Auditya Saputra