Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Revisi ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Sayangnya, revisi ini meninggalkan sejumlah masalah. Pertama, dari segi proses, pembahasan yang dilakukan DPR bersama pemerintah minim partisipasi publik. Padahal, salah satu amar putusan Mahkamah Konstitusi tadi menegaskan akan pentingnya partisipasi publik. Dalam putusannya, Mahkamah menegaskan bahwa partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang harus dilakukan dengan lebih bermakna.
Tapi, sejak pembahasan rancangan perubahan UU PPP dimulai pada 7 April 2022, tidak terlihat ruang partisipasi publik sebagaimana yang dimaksudkan Mahkamah. Pembahasannya memang disiarkan secara langsung melalui kanal TV Parlemen dan YouTube DPR. Tapi hal itu hanya bersifat memberikan informasi, tanpa ruang bagi publik untuk berpartisipasi. Dalam konteks ini, asas keterbukaan memang dijalankan, tapi tidak dengan sungguh-sungguh, karena tanpa partisipasi bagi masyarakat untuk memberikan masukan.
Kedua, masalah materi muatan. DPR bersama pemerintah gagal menangkap momentum revisi UU PPP ini sebagai sarana untuk mengatasi persoalan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), terdapat lima persoalan peraturan perundang-undangan yang dialami Indonesia, yakni perencanaan legislasi yang tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan, materi muatan yang tidak sesuai dengan bentuk peraturan, adanya kondisi hiper-regulasi, masih lemahnya pelaksanaan pemantauan dan eksekusi rekomendasi dari hasil evaluasi peraturan perundang-undangan, serta kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan yang bekerja parsial.
Dari kelima permasalahan tersebut, pemerintah dan DPR terkesan hanya berfokus pada persoalan hiper-regulasi, yang seolah-olah dapat diselesaikan dengan ketentuan tambahan tentang metode omnibus law. Padahal penggunaan metode omnibus dalam penyusunan undang-undang terbukti tidak menyelesaikan masalah hiper-regulasi. Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, justru melahirkan puluhan peraturan pelaksana baru. Selain itu, undang-undang ini tidak mengurangi jumlah undang-undang, melainkan hanya mengubah sebagian ketentuan dalam 79 undang-undang, yang sebagian materinya yang lain masih berlaku di undang-undang asalnya.
Selain melahirkan peraturan turunan yang banyak, Cipta Kerja melahirkan tumpang-tindih pengaturan baru. Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyebutkan bahwa setiap pemegang izin usaha di kawasan hutan lindung wajib bekerja sama dengan koperasi. Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan tidak ada kewajiban tersebut, meski di Pasal 139 terdapat 14 kewajiban pemegang izin berusaha di kawasan hutan lindung.
Ketiga, revisi UU PPP terkesan hanya untuk memberikan legitimasi terhadap Cipta Kerja. Hal itu setidaknya terlihat dari dua materi perubahannya, yakni akomodasi terhadap penggunaan omnibus law dan memberikan pembenaran terhadap perbaikan rancangan undang-undang yang telah disahkan.
Dari segi legitimasi terhadap omnibus law, hal ini mungkin dapat dibenarkan karena memang salah satu poin pertimbangan Mahkamah Konstitusi soal Cipta Kerja adalah karena omnibus law tidak dikenal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tapi masuknya materi yang membenarkan perbaikan rancangan undang-undang setelah disahkan tentu wajib dipertanyakan.
Perubahan UU PPP menyatakan bahwa rancangan undang-undang yang telah disahkan dapat diperbaiki dalam hal teknis penulisan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum, sebagaimana terjadi dalam UU Cipta Kerja. Setelah disahkan pada 5 Oktober 2020, terjadi beberapa kali perubahan substansi terhadap Cipta Kerja sebelum draf disahkan oleh Presiden Jokowi menjadi undang-undang. Dalam konteks ini, pengaturan dalam perubahan UU PPP justru terkesan melegalkan praktik penyelundupan hukum dan membenarkan praktik penyelundupan hukum yang terjadi dalam pembentukan Cipta Kerja.
Dengan demikian, alih-alih menyelesaikan persoalan peraturan perundang-undangan, revisi aturan pembentukan undang-undang ini justru berpotensi memperumit masalah. Dalam konteks ini, DPR dan pemerintah jelas telah gagal menangkap momentum karena gagal merevisi UU PPP secara komprehensif.
Penulis: Antoni Putra
Tanggal: 3Juni 2022