PADA Februari 2022, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis laporan indeks demokrasi 2021. Dalam laporan itu, posisi Indonesia meningkat dari tahun 2020 tetapi masih sebagai negara setengah demokrasi atau demokrasi yang cacat.
Peringkat Indonesia berada setingkat di bawah rezim demokrasi yang ideal, yakni demokrasi penuh. Dari segi peringkat, Indonesia memang mengalami peningkatan, tapi dari segi skor, Indonesia mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir. Bahkan tahun 2020, peringkat Indonesia menjadi yang terburuk setidaknya sejak EIU mengeluarkan laporan indeks demokrasi dunia tahun 2006.
Beberapa pihak beranggapan bahwa menurunnya indeks demokrasi Indonesia tidak lepas dari pandemi virus corona yang melanda dunia saat ini. Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menyebabkan penurunan terjadi.
Penyusutan ruang kebebasan sipil
Tahun 2019, dua peneliti politik dari Australian National University (ANU) di Canberra, Australia yaitu Edward Aspinall dan Marcus Mietzner mengatakan, demokrasi Indonesia mengalami kemuduran dan berada pada titik terendah sejak reformasi. Salah satu penyebabnya adalah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di masa pemerintahan Presiden Jokowi, terjadi penyusutan ruang kebebasan sipil (shrinking civic space) akibat pembatasan dan intervensi negara terhadap aktivitas masyarakat sipil, seperti berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.
Pemerintah terus berupaya membatasi ruang gerak masyarakat sipil dalam berpartisipasi guna mengklaim hak-hak mereka serta memengaruhi struktur politik dan sosial di sekitarnya. Organisasi masyarakat sipil dikekang dengan kewajiban mendaftar dan pemerintah terus berupaya terlibat dalam kegiatan mereka.
Di tingkat nasonal, kebebasan berkumpul dan berserikat sejatinya telah jauh meninggalkan apa yang seharusnya, karena adanya intervensi negara dan pembubaran secara sepihak. Misalnya dalam kasus pembubaran Hisbut Tahrir Indonesia (2017) dan pelarangan aktivitas Front Pembela Islam (2020). Dalam pembubaran dua organisasi tersebut, meski aturan hukum yakni Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas membenarkan, tetapi hal itu cacat dari segi demokrasi karena pembubaran dua organisasi tersebut dilakukan tanpa proses peradilan (due process of law).
Sementara di tingkat daerah, upaya untuk mengintervensi organisasi di daerah terus dilakukan dengan cara membentuk aturan yang subtansinya menempatkan kewajiban terdaftar sebagai syarat agar organisasi dapat beraktivitas. Padahal, bila merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 82/PUU-XI/2013, kewajiban mendaftar bagi organisasi masyarakat sipil hanyalah bersifat sukarela. Selain itu, subtansi dari banyak peraturan daerah baik yang sudah dibentuk maupun yang sedang dibentuk juga memungkinkan pemerintah daerah untuk aktif memantau dan mengatur kegiatan ormas.
Pada sisi kebebasan masyarakat secara individu, penegakan hukum pencemaran nama baik berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi pro-kontra. Meski memberi perlindungan hukum atas reputasi atau nama baik individu, tetapi ketentuan pencemaran yang tercantum pada UU ITE rawan disalahgunakan hingga berujung kriminalisasi yang menyebabkan prinsip-prinsip demokrasi dilanggar.
Pasal-pasal karet yang terdapat di dalam UU itu terbukti menyebabkan banyak orang yang kritis terhadap kebijakan negara dikriminalisasi karena antara kritik dan penghinaan sulit dibedakan. Sejumlah orang seperti Dandhy Dwi Laksono, Emerson Yuntho, Feri Amsari, dan beberapa orang lainnya pernah diproses hukum menggunakan pasal-pasal karet UU ITE.
Partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan minim
Selain itu, penyusutan ruang demokrasi juga terjadi dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan negara. Dalam banyak kasus, pelibatan publik dalam penyusunan kebijakan yang akan dikeluarkan sangat minim, bahkan kehendak publik diabaikan dengan alasan-alasan anti demokrasi, misalnya dengan menganggap publik sebagai batu sandungan bila mereka dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan. Padahal, dari segi berlakunya kebijakan yang dikeluarkan pasti akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat.
Tahun 2020, sejumlah UU dibentuk tanpa melibatkan publik yang menjadi contoh praktik buruk legislasi yang dilakukan DPR bersama pemerintah secara berulang. Misalnya, dalam revisi UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Revisi UU Tentang Mahkamah Konstitusi (MK), dan Pembentukan UU Cipta Kerja (UU Cipta kerja).
Proses legislasi terkait ketiga UU tersebut sejak awal mengabaikan ruang demokrasi dan dilakukan secara tergesa-gesa. Tidak ada partisipasi publik, segala bentuk kritik dan penolakan publik diabaikan, bahkan dalam beberapa kasus, kritik dan penolakan berujung pada kriminalisasi. Padahal dalam demokrasi, pelibatan publik dalam pengambilan kebijakan dan/atau penyusunan UU merupakan kewajiban yang mutlak.
Pada 2021, gejala serupa dalam pembentukan UU kembali terjadi. Hal itu dibuktikan dengan lancarnya sejumlah pembahasan UU yang mendapat kritik dan penolakan dari masyarakat, misalnya UU Omnibus Law Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan UU Kejaksaan. Pada awal 2022, gejala serupa kembali berlanjut. UU Ibu Kota Negara disahkan menjadi undang-undang di tengah maraknya penolakan.
Indeks demokrasi Indonesia pada awal tahun ini sempat membaik. Namun hal itu tidak mampu menghapus fakta bahwa Indonesia masih menjadi negara dengan kategori flawed democracy atau demokrasi cacat. Membaiknya kualitas demokrasi ini tidak lepas dari salah satunya akibat adanya putusan MK pada November 2021 yang menyatakan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah dan DPR merevisinya.
Hal itu menjadi bukti bahwa ruang gerak masyarakat sipil tidak boleh dibatasi. Selain karena tuntutan demokrasi yang menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi tertinggi, juga ada persoalan publik yang ingin terlibat dalam membahas kebijakan yang menyangkut dirinya. Prinsip “nothing about us, without us” yang mendorong publik untuk terus menyuarakan hak-haknya dalam proses penyusunan kebijakan.
Editor: Egidius Patnistik
Penulis: Antoni Putra