Gagasan tiga periode jabatan Presiden kembali lagi muncul dipermukaan. Hal tersebut tidak terlepas dari ketidaktegasan Presiden Joko Widodo dalam mengambil sikap terhadap wacana tiga periode tersebut.
Publik perlu mengecam pernyataan juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono yang menyatakan bahwa presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya. Selain melampaui mandat jabatannya sebagai Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, pernyataan itu berpeluang membuka keran otoritarianisme dan menciderai nilai-nilai demokrasi.
Wacana Tiga Periode Menghidupkan Kembali Otoritarianisme
Pasal 7 UUD 1945 berbunyi,”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Secara normatif, memang harus diakui bahwa materi muatan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden bisa mengundang perdebatan. Namun sejarah dan semangat perumusan pasal ini adalah untuk membatasi masa jabatan agar sirkulasi kepemimpinan nasional berjalan dengan baik. Sejarah Indonesia, pada masa Orde Lama dan Orde Baru, telah menunjukkan bahwa bermain-main dengan masa jabatan presiden telah melahirkan pemerintahan otoritarianisme yang menyangkal pemenuhan hak-hak dasar, baik kesejahteraan maupun hak-hak sipil.
Semua Pihak Harus Stop Berwacana Soal Tiga Periode
Dalam hal ini, pernyataan yang dikeluarkan juru bicara MK tersebut seoalah bertindak sebagai penafsir konstitusi, padahal hal itu merupakan kewenangan mahkamah melalui persidangan yang terbuka untuk umum.
Memberi pernyataan soal tiga periode masa jabatan Presiden bukanlah kewenangan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi. Bagaimana masa jabatan presiden ditafsirkan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir resmi konstitusi. Pernyataan tersebut sudah keluar dari koridor fungsi dan kewenangan MK yang seharusnya dapat menjaga marwah konstitusi dengan bertindak sesuai koridor regulasi, menjunjung etika, melandaskan segala tindakannya pada prinsip dan nilai demokrasi serta menjunjung HAM.
Mahkamah Konstitusi (MK) dan pihak manapun seharusnya berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan terkait gagasan tiga periode pada jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Sepatutnya, semua elemen di MK bersifat pasif terhadap situasi politik yang terjadi dan bukan hanya berlaku bagi hakim konstitusi untuk tidak berkomentar di luar persidangan saja, namun juga untuk MK secara kelembagaan.
Presiden Harus Tegas Menolak Wacana Tiga Periode
Presiden Joko Widodo harus menyatakan dengan tegas bahwa masa jabatan dua periode itu sudah final dan tidak ada lagi tafsir lain. Ketidak tegasan Presiden Joko Widodo menolak wacana tiga periode ini berkontribusi pada dinamika timbul tenggelamnya wacana masa jabatan presiden ini di publik. Pernyataan bahwa wacana tiga periode merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat amat patut dikritisi oleh berbagai pihak. Begitu banyak hal lain yang merupakan bagian dari hak kebebasan berpendapat namun mendapat tindakan keras dari aparat.
Semua pihak, apalagi pejabat negara termasuk Presiden, harus tegas menolak wacana tiga periode. Hal ini perlu dilakukan agar isu ini tidak berlarut-larut menimbulkan riak yang tidak perlu apalagi dengan beratnya situasi perekonomian yang dialami publik. Kemudian dengan sudah terbentuknya tahapan pemilu oleh penyelenggara Pemilu, seharusnya tertutup sudah ruang adanya presiden tiga periode.
Merespon hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak:
1. Presiden dan elit politik serta semua pihak mengendalikan diri untuk menghentikan wacana tiga periode bagi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
2. Presiden sebaiknya fokus untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dan janji yang belum ditunaikan sampai dengan habisnya masa jabatan di tahun 2024. Beratnya beban kenaikan harga yang memberatan publik harus diimbangi dengan komitmen Presiden untuk melaksanakan mandatnya dengan disiplin, bukan berpolitik.
3. Seluruh elemen Mahkamah Konstitusi untuk menahan diri tidak memberikan pernyataan dan tafsir-tafsir di luar persidangan.