Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Pada Senin, 14 November 2022, Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyampaikan masukan terhadap draf final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang diserahkan pemerintah kepada DPR. Masukan itu diberikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang diadakan Komisi III DPR RI.
Publik patut menyayangkan respons Komisi III DPR yang mencerminkan minimnya pemahaman akan partisipasi bermakna dalam proses legislasi. Pernyataan Ketua Komisi III DPR bahwa DPR sebagai wakil rakyat tidak memiliki kewajiban dan tidak memiliki waktu untuk memberikan jawaban atas masukan yang diberikan Aliansi menunjukkan miskinnya perspektif mengenai partisipasi bermakna tersebut.
Menurut Ketua Komisi III DPR, RDPU dengan Aliansi diselenggarakan sebagai bentuk kemurahan hati DPR, dan karenanya DPR berhak menerima atau tidak menerima masukan bergantung pada kehendak partai-partai politik.
Pernyataan tersebut menunjukkan dua kesalahan fatal.
Pertama, masukan masyarakat, termasuk dari Aliansi, bukanlah buah dari kebaikan hati DPR, melainkan bentuk partisipasi publik yang dijamin dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 (UU PPP).
Dalam hal ini, kewajiban DPR tidak hanya mendengarkan masukan yang diberikan, tapi juga mempertimbangkan dan memberikan penjelasan atau jawaban atas masukan tersebut. Hal itu merupakan kewajiban DPR sebagai bentuk pemenuhan prinsip partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) sebagaimana ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Bertolak dari tiga prasyarat tersebut, terdapat prinsip yang diingkari oleh DPR, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya. Jika dua prinsip lainnya tidak dijalankan, maka partisipasi publik dalam pembahasan RKUHP merupakan partisipasi publik yang cacat dan tidak dapat dijadikan alasan bahwa partisipasi publik telah terpenuhi.
Kedua, DPR menempatkan kedaulatan rakyat di bawah kedaulatan partai politik karena menganggap bahwa masukan dari Aliansi hanya akan dipertimbangkan apabila partai politik menghendaki. Dalam konteks ini, DPR lupa bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan kedaulatan rakyat,sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bukan berdasarkan atas kedaulatan partai politik. Pernyataan Ketua Komisi III DPR yang mempertanyakan apakah anggota Aliansi ikut memilih dalam pemilu atau tidak menunjukkan absennya pemahaman dan keberpihakan DPR mengenai makna partisipasi politik yang seolah berhenti di bilik suara pemilu.
Berdasarkan persoalan tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:
- Meminta DPR dan Presiden secara formal memberikan penjelasan dan argumentasi atas masukan/aspirasi masyarakat, baik masukan yang diterima atau tidak diterima.
- Meminta DPR menghormati hak setiap orang untuk berpartisipasi menyampaikan pendapat dan aspirasinya tanpa terkecuali.
- Meminta DPR untuk menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai prinsip utama dan panduan dalam pembentukan undang-undang.