Menkoperekonomian, Menkopolhukam, dan Wamenkumham melalui siaran pers Sekretariat Presiden mengumumkan bahwa Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Keberadaan Perppu 2/2022 disebut mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat (cacat formil) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Menurut Pemerintah, kehadiran Perppu Ciptaker telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum. Pernyataan ini tidak berdasar dan patut dipertanyakan logikanya, mengingat MK dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 mensyaratkan UU Ciptaker untuk diulang proses pembentukannya dengan memerhatikan salah satunya mengenai partisipasi yang bermakna. Penerbitan Perppu adalah seperti siasat sehingga secara keseluruhan seolah mengkhianati amanah MK demi mengakali syarat partisipasi bermakna ini.
Penerbitan Perppu Ciptaker ini merupakan sinyal kuat bagaimana Pemerintah mendudukkan publik dalam proses legislasi. Ada tiga corak utama yang lahir sejak 2019 yang terus berulang hingga kini dalam proses legislasi.
Pertama, memposisikan publik sebagai pihak yang berhadapan dengan Pemerintah dalam proses legislasi. Pesan ini terang dan jelas apabila kita memerhatikan bahwa dalam setiap dinamika dalam proses pembentukan undang-undang, kerap terlontar kalimat “kalau menolak RUU ini, silakan maju ke MK” dari Pemerintah. Alih-alih menempatkan publik sebagai mitra dalam proses penyusunan, yang terjadi justru memposisikan publik sebagai lawan; padahal rakyat-lah yang akan terdampak dalam pelaksanaan suatu undang-undang. Pengenyampingan partisipasi publik terlihat dari program “sosialisasi” yang praktiknya adalah safari komunikasi satu arah dari pihak Pemerintah, yang kemudian diklaim sebagai pemenuhan syarat partisipasi.
Kedua, menempatkan pemangku kepentingan dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan dan pembahasan produk hukum. Terlihat bahwa ada perbedaan dalam pelibatan pihak-pihak terdampak dalam proses legislasi. Contohnya bisa dilihat dari penyusunan Omnibus Cipta Kerja di tahun 2019 hingga KUHP di tahun 2022. Hanya mereka yang memiliki kepentingan sama dengan Pemerintah yang mendapat karpet merah mendapat panggung untuk didengar. Namun kelompok buruh, kelompok disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok minoritas seksual, serta kelompok masyarakat rentan lainnya justru terdiskriminasi dengan tidak mendapat ruang dan pelibatan secara aktif dalam penyusunan produk hukum tersebut.
Ketiga, kerancuan dalam skala prioritas materi muatan legisasi. Pertimbangan kekosongan hukum yang seharusnya menjadi salah satu prasyarat utama dalam pembentukan Perppu tidak terpenuhi dalam Perppu Cipta Kerja. Justru mandat dari putusan MK untuk menyusun ulang UU Omnibus Cipta Kerja tersebut malah secara aktif diabaikan oleh Pemerintah dengan keluarnya Perppu ini. Argumentasi kepentingan ekonomi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini juga memberikan kode yang membingungkan bagi publik. Apabila ada kebutuhan pengencangan anggaran karena potensi ekonomi yang memburuk, mengapa justru ada pengeluaran uang dengan skala massif, misalnya untuk membangun IKN dan memaksakan pembentukan UU IKN. Contoh lain adalah keluarnya agenda demi agenda legislasi yang sebetulnya tidak ada urgensi namun diduga keras demi mengakomodir kepentingan elit; seperti revisi UU KPK di tahun 2019, revisi UU MK di tahun 2020 hingga UU IKN di tahun 2022.
Pemerintah Semakin Abai Untuk Menghadirkan Partisipasi Bermakna dalam Legislasi
Penerbitan Perppu Ciptaker semakin menegaskan bahwa publik tidak ada artinya bagi Pemerintah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Keharusan untuk menghadirkan partisipasi bermakna justru direspon dengan semakin mendangkalkan saluran-saluran partisipasi masyarakat. Hal tersebut terlihat dari dua Perppu yang baru saja terbit pada tahun 2022, yakni Perppu Pemilu dan Perppu Ciptaker. Tidak hanya pada tingkat pembentukan Perppu, penyumbatan ruang partisipasi bermakna juga dilakukan pembentuk UU dalam beberapa kesempatan seperti UU Ibu Kota Negara (UU IKN) dan KUHP. Sekalipun MK telah beberapa kali menegaskan dalam putusannya tentang pentingnya partisipasi yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sinyal yang diterima publik adalah praktik ugal-ugalan Pemerintah dalam proses legislasi demi memenuhi kepentingan oligarki.
Ruang Gelap Proses Legislasi
Di samping banyaknya pertanyaan dan polemik yang ditimbulkan dari penerbitan Perppu Ciptaker, celakanya sampai dengan rilis ini disusun dokumen Perppu Ciptaker belum dapat diakses. Hal itu menguatkan kesan bahwa Pemerintah semakin menarik proses pembentukan peraturan perundang-undangan ke ruang gelap. Padahal prinsip transparansi adalah prasyarat terbukanya ruang partisipasi yang bermakna.
Tidak hadirnya ruang partisipasi bermakna dalam proses legislasi membawa semakin dalam ke jurang kemunduran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, ditambah saat ini terjadi langkah-langkah penjinakkan Mahkamah Konstitusi melalui revisi UU MK tahun 2020 sebagai antisipasi adanya uji materi produk legislasi bermasalah. Kita juga bisa melihat peran DPR yang semakin tumpul dengan terus mengakomodasi kepentingan Presiden dalam proses legislasi. Atraksi yang diperlihatkan DPR dalam menjalankan perannya sebagai pemegang kuasa proses legislasi juga kerap sama dan sebangun dengan Pemerintah sehingga fungsi penyeimbangan yang seharusnya terjadi malah absen. Penyusunan legislasi yang seharusnya mendapat sorotan terang agar bisa terpantau rakyat justru terjadi di ujung Desember saat warga mulai absen di ruang publik karena menikmati jeda akhir tahun. Fakta bahwa draft Perppu tidak langsung disebarluaskan pasca pengesahannya semakin menasbihkan bahwa proses legislasi disusun hanya untuk kepentingan elit belaka.
Berdasarkan poin-poin tersebut PSHK mendesak:
1. DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja karena telah mengabaikan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020;
2. Presiden dan DPR harus melakukan pembahasan kembali UU Ciptaker sebagaimana amanat UU MK 91/PUU-XVIII/2020 dengan menghadirkan ruang partisipasi masyarakat yang bermakna dalam prosesnya; dan
3. Presiden dan DPR untuk menghentikan praktik ugal-ugalan dalam proses legislasi dan kembali pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.