Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Sejumlah kepala desa (kades) menggelar demonstrasi untuk menuntut adanya Revisi terhadap UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), khususnya perihal masa jabatan kades yang awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun. Aksi demonstrasi ini didukung oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bahkan mengancam untuk menyelenggarakan demonstrasi yang lebih besar jika tuntutan tidak dikabulkan.
Berdasarkan pemberitaan di berbagai media menyatakan bahwa Presiden dan fraksi-fraksi di DPR memberikan sinyal persetujuan terhadap tuntutan perpanjangan masa jabatan kades. Sikap tersebut patut dipertanyakan, sebab tuntutan memperpanjang masa jabatan kades tidak mendasar, sangat dipaksakan, bahkan cenderung transaksional.
Jika dikalkulasikan, wacana memperpanjang masa jabatan kades menjadi 9 tahun akan memungkinkan seorang kades dapat menjabat hingga 27 tahun. Mengapa? Karena dalam UU 6/2014, seorang kades dapat menjabat sebanyak 3 periode. Hal ini bertolak belakang dengan semangat pembatasan kekuasaan dalam prinsip negara hukum di Indonesia. Selain itu, masa jabatan yang panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar, serta melanggar dan mengkhianati prinsip demokrasi yang telah susah payah dibangun sejak dulu.
Alasan perpanjangan masa jabatan ini adalah untuk meredam eskalasi pemilihan kepala desa (pilkades) mengingat waktu semakin bergerak mendekati Pemilu 2024. Padahal jadwal politik elektoral sebetulnya adalah agenda rutin, sehingga menjadikannya sebagai alasan merupakan suatu hal yang mengada-ada serta meremehkan kemampuan masyarakat mengelola konflik. Kalaupun ada dinamika dalam pilkades, sulit menemukan hubungannya dengan rentang masa jabatan selama 6 tahun sebagaimana diatur saat ini.
Dalam hal kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di tingkat desa, hingga tahun 2022 terdapat 686 kades yang terjerat korupsi dana desa. Hal ini menunjukan bahwa dengan rentang masa jabatan yang saat ini berlaku sepanjang 6 tahun sudah tercipta perilaku koruptif, dan potensinya akan semakin tinggi jika masa jabatan diperpanjang.
Tuntutan 3 periode jabatan kepala desa seolah abai dengan fakta sejarah bahwa semakin lama seorang menjabat, semakin tinggi peluang penyelewengan yang akan dilakukan. Hal ini menunjukkan pembatasan masa jabatan penting sebagai langkah preventif agar perilaku pelanggengan masa jabatan yang kerap terjadi karena semata alasan kekuasan agar tidak terulang lagi.
Politik Transaksional Menuju Pemilu 2024
Wacana perpanjangan masa jabatan kades ini patut diduga cerminan dari politik transaksional menuju Pemilu 2024. Presiden dan DPR merupakan pihak yang memegang kewenangan legislasi, sehingga menjadi sangat berdasar jika wacana ini bisa jadi bentuk politik transaksional karena sulit menemukan argumen rasional dari usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.
Hilangnya kesadaran akan pentingnya membangun preseden positif dalam praktik demokrasi dari tingkat terbawah dari elit politik menunjukkan miskinnya pemahaman pentingnya mewariskan nilai-nilai terbaik ke generasi berikutnya.
Bila pilkades yang selama ini dianggap sebagai praktik terbaik demokrasi dari level pemerintahan terbawah, maka penyangkalan elit politik akan praktik ini akan menunjukkan bahwa inisiatif menggergaji praktik terbaik justru datang dari aktor pemegang kekuasaan itu sendiri.
Sulit untuk tidak menghubungkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan usulan tiga periode masa jabatan kepala negara yang isunya pun seolah tidak pernah surut sampai hari ini. Tuntutan perpanjangan masa jabatan para kepala desa membuktikan bahwa karena bola liar wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak dihentikan dengan tegas, maka justru dicontoh oleh struktur kepemimpinan pada level paling bawah.
Preseden ini menyingkap persoalan dekadensi etika kepemimpinan di tengah capaian kinerja yang minim dan pada gilirannya menjadi teladan buruk yang diikuti oleh para kepala desa.
Berdasarkan poin-poin tersebut PSHK mendesak:
- Presiden dan DPR untuk menolak wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dan menunda rencana untuk merevisi UU Desa sampai setelah Pemilu 2024;
- Presiden dan DPR untuk fokus dalam melakukan penataan terhadap pemerintahan desa, sehingga menghilangkan peluang korupsi dan memperbaiki kehidupan demokrasi di tingkat desa; dan
- Semua pihak, khususnya Apdesi, untuk menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dan fokus meningkatkan kehidupan berdemokrasi di tingkat desa.