Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Melalui Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus perkara perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) terhadap tindakan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia yang tidak meloloskan PRIMA sebagai partai politik peserta Pemilu.
Putusan tersebut menyatakan KPU RI melakukan PMH (Poin 3 amar putusan), menghukum KPU RI untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024, dan memerintahkan KPU RI untuk mengulang kembali tahapan Pemilu dari awal (Poin 5 amar putusan). PSHK menilai Putusan tersebut keliru dan tidak berdasar, karena Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan memutus PMH yang diakibatkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, apalagi menunda Pemilu.
Kewenangan mengadili PMH telah diatur dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Perma 2/2019). Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa perkara PMH oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara (PTUN). Bila mengacu pada Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014), kualifikasi KPU adalah sebagai “badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang disebutkan UUD NRI 1945 dan/atau undang-undang.”
Semua pihak harus paham bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam peraturan perundang-undangan manapun, termasuk UU Pemilu, yang memberikan kewenangan bagi Pengadilan Negeri untuk memerintahkan penundaan Pemilu. Artinya, Putusan PN Jakpus tersebut telah menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan dan telah melampaui kewenangannya.
Putusan 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst Melanggar Konstitusi
Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Artinya, konstitusi menetapkan Pemilu harus dilaksanakan selama lima tahun sekali dan tidak bisa ditawar.
Penundaan yang diakibatkan Putusan 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst juga telah mengganggu tahapan yang telah disepakati melalui Peraturan KPU. Hal ini akan membuat Pasal 22E tidak dapat dilaksanakan sehingga tidak terlalu jauh apabila Putusan 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst dapat dikatakan telah melanggar konstitusi.
Berdasarkan catatan-catatan yang telah diuraikan sebelumnya, PSHK mendesak:
- KPU RI untuk segera mengambil upaya hukum terhadap Putusan PN Jaksel No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst;
- Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk segera memutus mengabulkan upaya hukum dari KPU RI dengan menganulir Putusan PN Jaksel No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, agar tidak ada lagi perdebatan yang hanya akan mengganggu bahkan menunda proses Pemilu;
- Segenap jajaran penyelenggara Negara, termasuk lembaga peradilan, konsisten dalam menjalankan mandatnya dan tidak bermain-main dengan ketentuan Konstitusi.