The Habibie Center berkolaborasi dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyelenggarakan diskusi panel bertajuk “Reformasi Hukum untuk Memperluas Ruang Sipil” pada gelaran Habibie Democracy Forum 2023, Kamis lalu (16/11/2023) di Jakarta. Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut: Koordinator Penelitian Koalisi Seni Indonesia Ratri Ninditya, Pendiri Lokataru Foundation Haris Azhar, Direktur Eksekutif PSHK Rizky Argama, serta Deputi Direktur Eksekutif PSHK Fajri Nursyamsi sebagai moderator.
Rizky Argama, atau yang akrab disapa Gama, menuturkan bahwa situasi kebebasan sipil di Indonesia saat ini tergambar dari sejumlah kasus, antara lain: akademisi Saiful Mahdi yang dilaporkan ke polisi oleh dekan di tempatnya bekerja karena tuduhan pencemaran nama baik; lebih dari 50 aktivis HAM dan lingkungan hidup dikriminalisasi sepanjang 2021 karena melakukan berbagai kegiatan advokasi; dan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dituntut penjara karena tuduhan pencemaran nama Luhut Binsar Pandjaitan. Gambaran itu menunjukkan iklim tidak kondusif kebebasan sipil di Indonesia, terutama pada aspek regulasi yang tidak berpihak pada ruang gerak masyarakat sipil.
Menurut Gama, kondisi regulasi yang demikian tak lepas dari persoalan minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia mengingatkan soal prasyarat partisipasi yang bermakna dalam pembentukan undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Haris Azhar menambahkan bahwa meningkatnya serangan terhadap masyarakat sipil di sejumlah daerah sejalan dengan masifnya pengerjaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Serangan tersebut bentuknya juga beragam seperti persuasi lewat iming-iming pemberian jabatan, pendekatan administrasi, doksing, serangan hukum, hingga serangan fisik. Menurut Haris, saat ini mekanisme peradilan juga dijadikan sebagai alat untuk merepresi kebebasan sipil, bukan lagi jadi ruang warga untuk mencari keadilan. “Hukum seharusnya digunakan untuk menjamin kebebasan sipil, bukan untuk membatasi,” ungkap Haris.
Haris juga menegaskan bahwa Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) tidak hanya menjamin hak warga negara untuk dipilih dan memilih, tetapi juga hak warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan. Untuk itu, Haris mengajak masyarakat untuk terus berani berpendapat dan berekspresi karena demokrasi memang sudah seharusnya konfrontatif dan membutuhkan keberanian.
Terkait dengan kebebasan berkesenian yang dilakukan para pegiat seni, Ratri Ninditya yang akrab disapa Ninin mengungkapkan, terdapat beberapa pola pelanggaran kebebasan berkesenian yang terjadi, seperti sensor, penahanan, tuntutan hukum, pemenjaraan, kekerasan, penyerangan, sanksi dan denda, serta larangan bepergian. Pelaku pelanggaran paling banyak adalah polisi, organisasi kemasyarakatan, pejabat lokal, administrator sekolah, dan militer.
Diskusi Panel 5 Habibie Democracy Forum bertajuk “Reformasi Hukum untuk Memperluas Ruang Sipil” dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube The Habibie Center.