Berdasarkan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, DPR terlibat dalam pemilihan pejabat publik (dalam hal ini hakim agung). Kuasa itu makin kentara dan melembaga setelah UU Mahkamah Agung dan UU Komisi Yudisial mengatur lebih spesifik peran DPR. Meski demikian, ada aspek yang seakan abai dalam pelaksaan peran DPR itu sehingga mengurangi kualitas pemilihan pejabat, yaitu transparansi dan akuntabilitas publik. Padahal, sebagai lembaga yang menerima mandat representasi, DPR bukan sekadar memperoleh sumber kuasa, tetapi berkewajiban pula untuk mempertanggungjawabkan kuasa itu. Artinya, tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap penyimpangan kuasa. Tidak tertutup kemungkinan, pada akhirnya, wilayah dan model kuasa dibongkar dan disempurnakan agar terhindar dari penyalahgunaan. Pembongkaran itu tetap menopang check and balances antarcabang-kekuasaan.
Sementara itu, ketika kuasa berbicara dan terlibat dalam pemilihan hakim agung, pada saat yang bersamaan, kepentingan politik turut menjadi pertimbangan. Tidak menjadi persoalan ketika kalkulasi politik mampu dengan tepat dan argumentatif berpihak pada kompetensi dan integritas. Artinya, kuasa sejalan dengan orientasi dan kemanfaatan jangka panjang. Kuasa tidak bermuara pada kemaslahatan kelompok, tetapi aparatur hukum yang secara efektif mengayomi kepastian dan keadilan hukum warga.
Namun, kecenderungan yang terjadi memperlihatkan bahwa kalkulasi politik mampu mengalahkan parameter kompetensi dan integritas. Kuasa tidak diperankan di wilayah yang semestinya, bahkan kuasa diselundupkan untuk mendapatkan cabang kuasa baru yang makin bermasalah. Terbukti, DPR memperluas kewenangannya di kuasa legislasi melalui UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial agar kuasa memberikan “persetujuan” dimaknai “memilih”. Kuasa “memilih” dalam wujud fit and proper test disusupi kalkulasi politik berhadapan dengan kriteria kompetensi dan integritas. Hasilnya? Kalkulasi politik membenamkan keakuratan kompetensi dan integritas.
Sebagai konsekuensi lembaga politik, basis keputusan DPR pastilah politis sehingga merupakan hubungan kausalitas yang tak terelakkan. Namun, sebelum keputusan politis dirumuskan, DPR seharusnya lebih dulu menuntaskan penilaian kompetensi dan integritas. Dengan kata lain, ketika para calon hakim agung sudah tidak bermasalah lagi kompetensi dan integritasnya, maka pertimbangan politis baru boleh masuk. Sayangnya, kejadian sekarang malah sebaliknya. Pada saat latar belakang calon hakim agung masih bermasalah, aspek politik sudah masuk, bahkan bisa mengisolasi profil kompetensi dan integritas calon hakim agung. Akibatnya, calon hakim agung terpilih masih menyisakan problem kompetensi dan integritas pada kemudian hari.
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kewenangan DPR sebatas memberikan persetujuan, tanpa dimaknai dan dilengkapi dengan tindakan “memilih” melalui mekanisme fit and proper test. Dengan demikian, Komisi Yudisial seharusnya menyampaikan calon hakim agung kepada DPR sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, tidak perlu lebih (2—3 kali lipat). Pola seperti itu seharusnya berlaku pula untuk pemilihan pejabat publik lain, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dengan demikian, posisi DPR sudah “disuguhkan” pada pilihan dengan standar yang tinggi secara kompetensi dan integritas. Jika DPR kemudian memilih hakim agung kurang dari yang diajukan oleh Komisi Yudisial, seharusnya itu tidak menjadi masalah karena yang terpilih adalah calon dengan profil terbaik.
Dalam jangka panjang, amendemen UUD 1945 memang harus mendefinisi ulang skema keterlibatan DPR dalam pemilihan pejabat publik agar tidak terjadi pola seperti sekarang ini. Mendefinisikan ulang skema keterlibatan DPR dalam pemilihan pejabat publik (dalam ruang lingkup konstitusi) tidak harus diartikan mengurangi kewenangan DPR. Dalam konteks pemilihan hakim agung, misalkan, kewenangan DPR diperbesar melalui produk undang-undang: UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Dalam jangka pendek, revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Tata Tertib DPR harus menjangkau masalah tersebut, sekaligus menyediakan pilihan mekanisme yang mendongkrak transparansi dan akuntabilitas. Anggota DPR yang tidak terlibat dalam proses fit and proper test atau yang ketahuan punya konflik kepentingan terhadap calon pejabat publik tidak diberikan hak suara. Setiap pertanyaan yang diajukan oleh anggota DPR dalam proses fit and proper test harus tercatat dan dipublikasikan, termasuk tanggapan dari para calon. Kemudian, saat pemberian suara, seharusnya dilakukan secara terbuka agar publik bisa mengetahui kinerja dan preferensi wakil mereka, terutama saat memberikan persetujuan terhadap calon pejabat publik.
Oleh: Ronald Rofiandri (Peneliti Pusat Studi hukum & Kebijakan Indonesia)