Karena bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1), Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945. Namun, pemerintah mengklaim Pasal 170 RUU Cipta terkait kewenangan pemerintah pusat berwenang mengubah UU ini melalui PP ada kemungkinan keliru ketik.
Materi muatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law terus mengundang kritik dan cibiran dari sejumlah elemen masyarakat. Mulai organisasi serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, hingga kalangan akademisi. Salah satu materi muatan yang mendapat sorotan tajam terkait pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang melalui Peraturan Pemerintah (PP).
“Rumusan ketentuan Pasal 170 melanggar konstitusi, khususnya Pasal 20 ayat (1) UUD 1945,” ujar pengamat hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari kepada Hukumonline, Senin (17/2/2020).
BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 170
-
- Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini, Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
- Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.
Dia menegaskan rumusan bunyi Pasal 170 RUU Cipta Kerja itu jelas-jelas melanggar Pasal 20 ayat (1) UUD RI Tahun 1945. Pasal 20 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menyebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Norma Pasal 20 ayat (1) itu sangat jelas posisi DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif sebagai pemegang kekuasaan pembentuk UU.
Menurutnya, materi muatan Pasal 170 RUU Cipta Kerja itu seolah bentuk pengambilalihan kewenangan DPR oleh presiden (pemerintah pusat, red) dalam mengubah/merevisi UU dengan PP melalui Pasal 170 itu. Feri Amsari mengaku tak abis pikir mengenai rumusan penyusunan pasal itu yang dinilai tidak lazim dalam proses pembentukan UU. Padahal, penyusun RUU Cipta Kerja adalah para ahli di bidangnya.
“Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, presiden tidak boleh mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pengambilalihan kewenangan DPR oleh presiden ‘menabrak’, bahkan merusak konstitusi,” tegasnya.
Dia khawatir justru melalui pengaturan Pasal 170 RUU Cipta Kerja ini menjadikan pemerintah berpotensi otoriter. “Kalau sudah merusak konstitusi, pasti merusak sistem ketatanegaraan. Bisa kembali ke sentralistik negara kita,” kritiknya.
Senada, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin menilai Pasal 170 RUU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945. Dia menerangkan materi muatan PP merupakan instrumen hukum untuk menjalankan undang-undang. Dia merujuk Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Menurut dia, kedudukan PP ada dua. Pertama, PP kedudukannya di bawah undang-undang lantaran undang-undangnya menentukan kebutuhan pembentukannya. Kedua, karena secara hierarki berbeda, maka materi muatan norma antara undang-undang dan peraturan pemerintah tak dapat disamakan. “PP memiliki jangkauan pengaturan lebih teknis dibandingkan dengan undang-undang,” kata dia.
Dia melihat ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja nampak ditujukan untuk mengambil alih kewenangan DPR dalam membentuk UU. Padahal, porsi kewenangan legislasi pasca reformasi melalui amandemen UUD 1945 lebih menitikberatkan ke DPR atau legislative heavy. Baginya, isi Pasal 170 merusak prinsip dasar ketatanegaraan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Lolosnya norma ini menunjukkan ada persoalan mendasar dalam pemerintah dalam penyusunan peraturan baik dari sisi prosedur maupun substansi.
“Bagaimana mungkin norma semacam ini bisa diloloskan oleh Presiden dan diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama? Bagaimana pertanggungjawaban Menteri Hukum dan HAM yang mempunyai tugas melakukan harmonisasi setiap RUU?”
Merujuk Peraturan Presiden (Perpes) No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengamanatkan pejabat Menkumham bertugas mengharmonisasi, pembulatan, dan pemantapan RUU yang akan diusulkan oleh pemerintah. Pasal 51 ayat (4) PP 87/2014 itu untuk menselaraskan RUU dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan UU lain. Dan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, lolosnya norma Pasal 170 RUU Cipta Kerja mengindikasikan lemahnya proses harmonisasi yang seharusnya bisa menunjukkan adanya pertentangan dengan UUD 1945, UU lain, dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. “Atau jangan-jangan RUU ini diserahkan ke DPR tanpa proses harmonisasi terlebih dahulu?”
Melakukan pendalaman
Anggota Komisi III DPR Mohammad Syafii juga khawatir rumusan Pasal 170 RUU Cipta Kerja justru menggerus kewenangan DPR dalam pembuatan atau mengubah UU. Sebab, Pasal 170 seperti mengambil alih fungsi legislasi DPR. Padahal, bila merujuk Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR pemegang kekuasaan pembuat UU. Karena itu, dia memastikan bakal melakukan pendalaman terhadap RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi.
“Pada dasarnya ingin mengambil alih fungsi legislatif,” kata dia di Komplek Gedung Parlemen.
Politisi Partai Gerindra ini meminta perhatian masing-masing fraksi termasuk di Baleg, bila rumusan RUU Cipta Kerja melalui omnibus law ini dirasa kontraproduktif dan mereduksi hak legislasi DPR. Dia berharap sistem ketatanegaraan yang sudah terbangun tak boleh diruntuhkan. “Tapi jangan ada seolah-olah hak legislasi DPR ingin direduksi dengan omnibus law ini,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) M. Mahfud MD menegaskan materi muatan undang-undang tidak bisa diubah atau diganti dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP).
“Kalau lewat Perppu, undang-undang diganti dengan Perppu sejak dulu bisa. Sejak dulu sampai kapanpun bisa. Tapi isi undang-undang diganti dengan PP, diganti dengan Perpres (Peraturan Presiden) itu tidak bisa,” ujar Mahfud di Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2020) seperti dikutip Antara.
Dia mensinyalir adanya kesalahan ketik dalam pasal yang tertuang di rancangan undang-undang tersebut. “Mungkin itu keliru ketik atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada begitu. Oleh sebab itu, kalau ada yang seperti itu nanti disampaikan ke DPR dalam proses pembahasan,” ujar dia.
Mahfud pun enggan berkomentar lebih jauh terkait hal tersebut. Dia akan terlebih dahulu mengecek dan mempelajari isi pasal yang dimaksud. “Prinsipnya begini, tidak bisa sebuah undang-undang diubah dengan PP atau Perpres, kalau dengan Perppu bisa. Perubahan kalau untuk Perppu konsultasi dulu (ke DPR) bisa iya, bisa tidak. Coba nanti saya cek dulu, besok tanyakan lagi,” tegas Mahfud.
Artikel ini telah tayang di hukumonline.com dengan judul “Ubah UU dengan PP Dinilai Langgar Konstitusi”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e4a620508962/ubah-uu-dengan-pp-dinilai-langgar-konstitusi/
Penulis : Rofiq Hidayat
Photo : RES