Draf RUU Cipta Kerja yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan oleh DPR bersama Presiden berisi pasal-pasal yang memuat perubahan mendasar dalam administrasi pemerintahan. RUU Cipta Kerja ini menegaskan bahwa kewenangan Menteri, Kepala Lembaga serta Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan oleh UU untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksana dari kewenangan presiden. Hal ini bertujuan untuk percepatan pelayanan, percepatan perizinan dan pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan pemerintah pusat. Selain itu, dalam RUU Cipta Kerja ini Presiden juga berwenang membatalkan Peraturan Daerah (Perda) melalui Peraturan Presiden (Perpres) serta Presiden juga menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang dilaksanakan oleh Menteri, Kepala Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Kalimantan Tengah sekaligus Tim Kerja RUU Cipta Kerja, Agustin Teras Narang menyampaikan bahwa mekanisme pembatalan Perda harus diajukan ke Mahkamah Agung, bukan melalui Perpres sebagaimana yang diatur dalam RUU Cipta Kerja karena hal tersebut tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 terkait pembatalan Perda oleh Gubernur dan Menteri.
Oleh karena itu jika RUU Cipta Kerja disahkan, diprediksi akan menambag beban regulasi jika gagal diterapkan, mengingat banyaknya masalah yang ada dalam RUU Cipta Kerja.
Agustin juga menambahkan terkait dampak RUU Cipta Kerja di daerah adalah mengenai Pendapatan Asli Daerah yang merupakan salah satu sumber dari pembangunan di daerah tersebut, sampai saat ini belum diketahui sejauh mana RUU Cipta Kerja ini dapat menggerus Pendapatan Asli Daerah.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Omnibus Vol. 7 yang bertema “Problem Birokrasi dan Administrasi Pemerintahan dalam RUU Cipta Kerja” yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) pada Selasa (22/8/2020).
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR dan Anggota Panja Pembahasan RUU Cipta Kerja, Beny K. Harman menyampaikan bahwa tujuan RUU Cipta Kerja ini adalah untuk memutus mata rantai birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Namun, Beny juga menyampaikan bahwa dalam pembentukan RUU Cipta Kerja ini tidak partisipatif dan penuh dengan asumsi. Beny melihat bahwa masalah inti dalam RUU Cipta Kerja ini adalah persoalan partisipasi. Sehingga, penting untuk membuka partisipasi publik agar RUU ini bisa menjadi lebih baik.
“Kalau kita mau objektif, mestinya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak bisa kita loloskan. Masalah-masalah yang tadi dikemukakan, asumsi-asumsi yang ada didalam setiap latar belakang perubahan itu tidak harus diatasi dengan cara begini, bisa diatasi dengan apa? Perbaiki pelayanannya dan insentifnya diberikan,” ungkapnya.
Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, Agus E. Hanafiah memberikan gambaran kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat yang memiliki jumlah pengangguran sebesar 1.870.000 orang (7,69% dari Jumlah Penduduk Usia Kerja) pada periode Agustus 2016 sampai Februari 2020. Sedangkan, jumlah pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan yang dirumahkan sebanyak 99.033 saat masa pandemi Covid-19. Agus juga menyampaikan bahwa angka pengangguran dapat dikurangi dengan cara peningkatan kompetensi dan produktivitas melalui pelatihan-pelatihan serta perluasan kesempatan kerja untuk pencari kerja.
Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menambahkan bahwa secara substantif, RUU Cipta Kerja mengubah pola Pemerintah Daerah karena adanya penafsiran yang tidak tepat atas Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, RUU Cipta Kerja yang memberikan peluang diskresi yang terlalu besar akan berbahaya karena berpotensi adanya penyalahgunaan wewenang.
Diskusi yang dimoderatori oleh Peneliti PSHK, Agil Oktrayal ini diikuti oleh 60 orang peserta yang terdiri dari peneliti, dosen, mahasiswa hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut dapat dilihat kembali di kanal Youtube PSHK Indonesia.
Download Presentasi iOS:
1. Agustin Teras Narang-PSHK_Omnibus Vol. 7_Birokrasi-Administrasi
2. Bivitri Susanti-RUU Cipta Kerja Administrasi Pemerintahan – PSHK
3. Kebijakan dan Strategi Pemerintah Dalam Menghadapi Pembangunan Ketenagkerjaan