Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyelenggarakan capacity building bagi komunitas yang tergabung dalam Program PRINSIP Indonesia: Memperkuat Perlindungan Ruang Sipil & Peran Masyarakat Sipil dalam Kepemimpinan Indonesia Baru pada 13-14 Juni 2024 di Jakarta. Capacity building yang bertujuan untuk merawat dan memperkuat pelindungan hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat melalui kegiatan kolektif diikuti oleh 21 peserta dari 10 komunitas orang muda yang tergabung dalam Program PRINSIP.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menyampaikan mengenai penyempitan ruang gerak masyarakat sipil dan menurunnya indeks demokrasi Indonesia yang terus terjadi selama beberapa tahun terakhir. Menurut Bivitri, saat ini terdapat empat ancaman utama bagi kebebasan berpendapat di Indonesia, yaitu adanya serangan fisik dan kekerasan terhadap pihak kritis, serangan dan kekerasan siber, penggunaan sistem peradilan untuk menjerat pihak kritis (judicial harassment), dan pembatasan dari pemerintah terkait pendaftaran dan pendanaan organisasi masyarakat sipil.
Direktur Eksekutif PSHK, Rizky Argama menambahkan bahwa menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil adalah salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi organisasi masyarakat sipil (OMS). Tantangan-tantangan itu adalah ketahanan finansial, kapasitas kelembagaan, kaderisasi, disorientasi organisasi, menurunnya kepercayaan publik, hingga tidak dapat adaptif pada perkembangan teknologi dan kemajuan global. Gama—begitu ia biasa disapa—juga menyampaikan problem pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang memaksakan penerapan tafsir yang keliru, seolah-olah OMS sama dengan ormas. Lewat UU Ormas, pemerintah juga dapat membubarkan ormas jika ormas dianggap mengusung prinsip yang bertentangan dengan Pancasila dan ormas dianggap mengganggu ketertiban umum.
Ketua Dewan Pengurus Indonesia untuk Kemanusiaan, Maria Anik Tunjung Wusari menyampaikan bahwa resiliensi pendanaan perlu dilakukan OMS dengan diversifikasi sumber pendanaan, membangun strategi penggalangan dana yang efektif, dan manajemen keuangan yang baik. “Tata kelola kelembagaan yang baik dalam organisasi juga perlu diterapkan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keadilan, kesetaraan, dan efektivitas,” tambah Anik.
Dalam capacity building ini, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati membawakan sesi mengenai “Pengarusutamaan Gender dan Sensitivitas terhadap Kelompok Rentan dalam OMS”. Dalam sesi tersebut, Asfinawati memberikan pemahaman mengenai
pentingnya ruang aman, egaliter, dan inklusif dengan sensitivitas gender dan kelompok rentan dalam membangun dan mempertahankan OMS. Asfinawati memberikan contoh-contoh diskriminasi yang kerap kali terjadi, antara lain gaji yang tidak setara antara staf laki-laki dan perempuan.
Memasuki hari kedua capacity building, Deputi Direktur Eksekutif PSHK, Fajri Nursyamsi menjelaskan soal langkah-langkah dalam melakukan advokasi kebijakan publik, mulai dari menentukan fokus isu, menentukan jalur intervensi kebijakan yang akan digunakan, memetakan pemangku kepentingan terkait, hingga menentukan strategi dan teknik advokasi. Dalam memilih fokus isu saat advokasi kebijakan, Fajri menekankan perlunya memastikan akar permasalahan terlebih dahulu, lalu menganalisa kekuatan diri dan komunitas, serta menyesuaikan strategi dengan momentum yang muncul.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya menjelaskan mengenai tipologi aktivisme yang terdiri dari peningkatan kesadaran, pembangunan alternatif/masa depan yang berbeda, artivisme, aktivisme hukum, politik, hingga ekonomi. Menurut Dimas, advokasi kebijakan publik perlu menerapkan tiga prinsip, yaitu Actionable yaitu sebuah ide dapat dieksekusi untuk memengaruhi orang melakukan sesuatu, Connected yakni sebuah ide terpaut dan terkait dengan target sasaran, dan Extensible yaitu sebuah ide dapat disesuaikan, dimodifikasi, dan dimoderasi oleh siapa pun.
Head of Digital Campaign Remotivi, Ilham Bachtiar menyampaikan mengenai kampanye digital. Menurut Ilham, tujuan kampanye digital harus spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan memiliki periode tertentu. Contohnya adalah Kampanye #TolakRUUPenyiaran bertujuan mengumpulkan 100.000 tanda tangan petisi dalam 4 bulan untuk menunda pengesahan tahun 2024. Pesan kampanye yang disusun juga harus singkat dan komprehensif yang mencakup tujuan utama, visi, dan misi dari suatu proyek, kampanye, atau organisasi.
Materi terakhir mengenai keamanan digital dibawakan oleh Farhanah dari CODAyati yang mengajak seluruh peserta untuk mengamankan identitas digital seperti alamat email, akun media sosial, nomor HP, hingga perangkat digital yang dimiliki. Menurut Farhanah, password yang kuat merupakan kombinasi dari campuran huruf besar dan kecil, angka, simbol, karakter, acak, dan lebih dari 15 karakter.
Program PRINSIP Indonesia merupakan program untuk memperkuat pelindungan ruang gerak masyarakat sipil dan peran masyarakat sipil dalam kepemimpinan Indonesia yang baru yang diinisiasi oleh Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) yang terdiri atas ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Imparsial, LBH Jakarta, PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), dan YAPPIKA. Program ini ditujukan untuk berkontribusi dalam memperkuat masyarakat sipil, serta mendorong ruang gerak masyarakat sipil (civic space) yang aman dan berkembang bagi aktivisme kelompok masyarakat sipil, terutama kelompok orang muda, khususnya dalam menyambut periode kepemimpinan Indonesia baru pasca-Pemilihan Umum Tahun 2024.